Friday 6 December 2013

Kesenian Gamelan Jawa

Kesenian Gamelan Jawa- Salah satu kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dalam bidang musik adalah seni gamelan. Gamelan banyak ditemui di berbagai daerah Indonesia. Musik gamelan terdapat di Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Tentu saja, varian alat musik yang digunakan berbeda. Baik nama maupun bentuk.

Sejarah Kesenian Gamelan Jawa
Sejarah Kesenian Gamelan Jawa
Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab,, Siter, Suling. Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan.

Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda.  Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.

Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa ?.

Awalnya, alat musik instrumen gamelan dibuat berdasarkan relief yang ada dalam Candi Borobudur pada abad ke-8. Dalam relief di candi tersebut, terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari kendang, suling bambu, kecapi, dawai yang digesek dan dipetik, serta lonceng.

Sejak itu, alat musik tersebut dijadikan sebagai alat musik dalam alunan musik gamelan jawa. Alat musik yang terdapat di relief Candi Borobudur tersebut digunakan untuk memainkan gamelan. Pada masa pengaruh budaya Hindu-Budha berkembang di Kerajaan Majapahit, gamelan diperkenalkan pada masyarakat Jawa di Kerajaan Majapahit.

Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.

Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda (Jawa Barat).

Bukti otentik pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Pada relief-nya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.

Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup “orang jawa” pada umumnya.

Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa” selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”,  “pélog”,  ”Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
  • Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu :  1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.
  • Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu :  1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar.
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.

Alunan musik gamelan jawa di daerah Jawa sendiri disebut karawitan. Karawitan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan alunan musik gamelan yang halus. Seni karawitan yang menggunakan instrumen gamelan terdapat pada seni tari dan seni suara khas Jawa, yaitu sebagai berikut.
  1. Seni suara terdiri dari sinden, bawa, gerong, sendon, dan celuk.
  2. Seni pedalangan terdiri dari wayang kulit, wayang golek, wayang gedog, wayang klithik, wayang beber, wayang suluh, dan wayang wahyu.
  3. Seni tari terdiri dari tari srimpi, bedayan, golek, wireng, dan tari pethilan.
Seni gamelan Jawa tidak hanya dimainkan untuk mengiringi seni suara, seni tari, dan atraksi wayang. Saat diadakan acara resmi kerajaan di keraton, digunakan alunan musik gamelan sebagai pengiring. Terutama, jika ada anggota keraton yang melangsungkan pernikahan tradisi Jawa. Masyarakat Jawa pun menggunakan alunan musik gamelan ketika mengadakan resepsi pernikahan.
 
Gambaran alat musiknya diantaranya :
1. Kendang


2. Bonang





3. Demung




4. Kethuk, kenong


5. Slenthem




6. Gender




7. Gong





8. Gambang




9. Rebab




10. Siter




11. Suling
 

Seni Pewayangan

Banyak orang beranggapan bahwa seni wayang berasal dari Negeri India. Padahal menurut R.Gunawan Djajakusumah dalam bukunya Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, hal itu tidak benar. Menurutnya, wayang adalah kebudayaan asli Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).


Sejarah Seni Pewayangan di Indonesia
Seni Wayang
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang  di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme

menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M

wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :

menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)

di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa  dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa  dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )

ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .

gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita

raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan  (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan

selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru  wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :

raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :

cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan  sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak

dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’  berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang

a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan  begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan  oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan

dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi  mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’    (cerita tentang asal-usul semar, misalnya,     ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari.
Pertunjukan wayang biasanya dilakukan pada saat adanya kenduri baik kawinan maupun hajatan sunatan, Agustusan atau karena hal tertentu (bisanya ini dinamakan ruwatan). Waktunya bisa semalam suntuk atau hanya beberapa jama saja. Isi ceritanya ada yang menganut prinsip galur (diambil secara utuh berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabrata) dan ada yang menggunakan prinsip sempalan (mengambil bagian-bagian tertentu yang biasanya menarik penonton seperti; peperangan, dan dialog humor). Pertujukan wayang yang menggunakan prinsip galur waktunya semalam suntuk sedangkan yang sempalan biasanya hanya satu sampai dua jam saja. Apalagi apabila pertunjukannya melalui media televise yang jamtayangnya sangat terbatas mungkin hanya 45 menit saja. Dalam kondisi masyarakat yang aktifitas socialnya tinggi dan menuntut waktu serba cepat, maka pertunjukan yang singkat tapi padat ceritanya dan dialog humornya menarik akan sangat diminati dibandingkan yang menggunakan jalan cerita prinsip galur – dengan lama hingga waktu subuh. Bagi masyarakat dari golongan generasi tua dan fanatic terhadapprinsip galur wayang ia akan menyenangi jalan cerita aslinya walaupun ia dengar dan lihat berulang-ulang. Tapi, bagi generasi muda yang haus hiburan serba instant, maka cerita-cerita sempalan adalah paling disukai.

Saturday 28 September 2013

Persiapan Proses Membatik

Istilah Batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa yaitu Amba dan Titik. Amba artinya kain dan titik adalah cara memberi motif pada kain dengan menggunakan malam cair dengan cara di titik-titik. Cara kerja membatik pada dasarnya adalah menutup permukaan kain dengan malam cair (wax) agar ketika kain dicelup kedalam cairan pewarna, kain yang tertutup malam tersebut tidak ikut kena warna.

Teknik seperti ini dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Wax-Resist Dyeing. Jika proses membuat motif batik dilakukan dengan cara “ditulis” dengan menggunakan alat yang disebut canting, maka batik tersebut dinamakan batik tulis. Ada juga jenis batik yang pembuatan motifnya menggunakan alat cetak khusus yang terbuat dari logam dengan motif-motif tertentu. Batik yang dibuat dengan cara mirip stempel / cap seperti ini disebut sebagai batik cap atau batik stempel.

Seiring dengan perkembangan jaman, dewasa ini ada juga batik yang dibuat dengan cara dicetak sablon dan dengan cetak masal menggunakan mesin cetak otomatis yang modern. Batik yang dihasilkan dengan cara seperti ini disebut sebagai batik printing.

Jadi, berdasarkan teknik atau cara penggambaran motifnya, batik dibedakan menjadi:
1. Batik Tulis
2. Batik Cap
3. Batik Sablon
4. Batik Painting
5. Batik Printing

Diluar teknik yang telah disebutkan diatas, ada juga teknik pembuatan batik dengan cara mengecatkan langsung pewarna pada kain dengan menggunakan kuas untuk membuat motif atau citra-citra tertentu, bahkan belakangan ini ada juga beberapa orang yang mencoba memperkenalkan cara membuat batik dengan cara menyemprotkan langsung tinta ke kain dengan menggunakan alat yang disebut Air Brush.

Biasanya motif yang dihasilkan adalah motif-motif Pop dan kontemporer. Salah satu tokoh batik kontemporer Indonesia adalah Amri Yahya. Beliau memperkenalkan batik kontemporer itu sebagai karya seni lukis dengan warna-warna cerah dan dinamis yang muncul dari efek-efek sapuan dan cipratan kuas yang spontan.

Untuk batik tradisional, ada beberapa bahan yang biasa dipergunakan, yaitu:

1. Kain. Kain yang digunakan untuk batik tradisional adalah yang memiliki bahan dasar dari kapas (kain katun, kain mori), dan kain sutra.

2. Malam (Wax). Yang dimaksud dengan malam adalah sejenis parafin/lilin yang tidak mengandung zat pembakar. Ada beberapa macam malam yang biasa digunakan untuk membuat batik ini yaitu: malam kuning, malam coklat, dan malam putih.

Malam kuning memiliki sifat yang lebih liat/kenyal yang cocok untuk memunculkan efek gambar yang menutup kain secara utuh/sempurna.

Malam coklat memiliki sifat yang mudah retak, sehingga akan memunculkan efek urat-urat pada hasil lukisan batiknya.

Malam putih atau parafin bersifat sangat rapuh dan akan memunculkan efek retak-retak pada gambar batiknya.

3. Pewarna. Pewarna batik bisa dihasilkan dari bahan alami yang berasal dari tanaman bisa juga dari bahan kimia. Bahan pewarna alami yang pernah digunakan sebagai bahan pewarna alami adalah daun jambu, daun mangga, dan lain-lain dimana warna tersebut akan semakin kuat/tua jika ditambahkan ke dalamnya larutan tawas. Salah satu pewarna yang pernah populer digunakan adalah pewarna yang berasal dari air rebusan kulit pohon mahoni. Di Jawa tengah kita mengenal adanya batik sogan yang populer di kalangan keraton Yogyakarta dan Solo. Batik ini menggunakan pewarnanya dari rebusan kulit pohon Soga Tingi.

Pewarna kimia yang sudah umum digunakan oleh para pengrajin batik adalah berbagai jenis Napthol dan garam Diazo. Naptol ini merupakan pewarna dasar dan garam Diazo sebagai pembangkit warnanya. Ada beberapa jenis napthol yang bisa kita pilih yaitu; AS, ASD, ASG, ASBS, ASGR, dan ASLB. Sedangkan jenis garam diazo yang bisa kita gunakan sebagai pembangkit warnanya adalah; Biru B, Merah B, Merah R, Oranye G.C, dan Violet B.

Kita dapat melakukan beberapa percobaan dengan mencampur naptol dan garam diazo ini untuk menghasilkan warna warna tertentu, misalnya dengan mencampurkan salah satu jenis naptol dengan salah satu jenis garam diazo.

4. Canting atau Cap. Canting adalah alat yang digunakan untuk membuat motif / gambar pada kain yang memiliki beberapa nama sesuai dengan fungsinya, yaitu:
  • Canting Cecek, yang memiliki lubang kecil biasa digunakan untuk membuat motif gambar yang detil.
  • Canting Klowong, adalah canting yang memliki lubang berukuran sedang dan biasa digunakan untuk membuat garis utama pada motif, dan
  • Canting Tembok, yaitu canting yang memiliki ukuran lubang besar yang biasa digunakan untuk menutup bidang motif yang agak luas.

Sejarah Keris di Indonesia

Keris dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat meraba-raba.

Gambar timbul (relief) paling kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti batu yang ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Melihat bentuk tulisannya,  diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sanskerta.

Prasasti itu menyebutkan tentang adanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bunga teratai.
Salah satu relief pada dinding Candi Borobudur yang memperlihatkan gambar orang mengenakan keris dengan bentuk masih sederhana
Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangka melambangkan keabadian, sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam.

Beberapa Teori

Sudah banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.

Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam.

Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa.

Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang-kerik, bahasa Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang.

Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.

Dalam kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder, jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng, umpak-umpak, dlsb.

Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin dalam kandungan ibunya.

Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang istimewa.

Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris.

Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap.

Kres yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula.

Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris.

Sementara itu edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang, bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk.

Mengenai keris ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.

Ada pula yang menduga, budaya keris sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.

Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang keris pendek lurus.

Gambar yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.

Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris.

Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit.

Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris.

Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and finished carefully.

Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat dari emas, cula badak, atau gading.
Salah satu panil relief di Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu.
Tak pelak lagi, tentunya yang dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang ini.
Gambar timbul mengenai cara pembuatan keris, dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu, terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi.

Cara pembuatan keris yang digambarkan di candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dll.

Teori Itu Tak Selalu Benar

Bagi sebagian besar pecinta keris dan tosan aji di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli Barat itu banyak sekali mengandung kelemahan, dan terkadang bahkan tidak logis.

Satu hal yang tidak ‘tertangkap’ dalam alam pikir para ahli Barat, adalah bahwa keris dibuat orang (para empu) sama sekali bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai alat pembunuh. Banyak buku yang ditulis orang Barat menyebut keris sebagai salah satu senjata tikam atau stabbing weapons. Buku-buku Barat pada umumnya memberi kesan bahwa keris serupa atau sama saja dengan belati atau ponyard (poignard).

Padahal ada perbedaan sangat besar dan mendasar di antara mereka. Belati, sangkur, atau poyard memang sengaja dibuat untuk menusuk lawan, melukai atau membunuhnya, sedangkan keris tidak. Keris dibuat terutama untuk digunakan sebagai pusaka atau sipat kandel, yang dipercaya dapat melindungi serta memberi keselamatan dan kesejahteraan pemiliknya.

Kekeliruan lain yang terasa agak menyakitkan hati, adalah penyebutan keris-keris sajen sebagai keris Majapahit oleh sebagian buku yang ditulis oleh orang Barat. Bagi orang Indonesia, terutama suku bangsa Jawa, keris Majapahit adalah salah satu produk budaya yang indah dan relatif sempurna -- yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan keris sajen yang dibuat amat sangat sederhana.

Dari uraian ringkas di atas, cukup beralasan bagi kita kalau memperkirakan bahwa keris sudah mulai dibuat di Indonesia, Di Pulau Jawa, pada abad ke-5 atau 6. Tentu saja dalam bentuk yang masih sederhana.

Keris mencapai bentuknya seperti yang kita kenal sekarang, diperkirakan baru pada sekitar abad ke-12 atau 13. Budaya keris mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Majapahit, seperti yang telah dilaporkan oleh Ma Huan. Pada kala itulah budaya keris menyebar sampai ke Palembang, Riau, Semenanjung Malaya, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Kamboja atau Champa, bahkan sampai ke Surathani dan Pathani di Thailand bagian selatan.

Budaya keris terkadang disalah mengertikan oleh sebagian peneliti Barat, sehingga hasil tulisan mereka terkadang tidak sesuai dengan alam budaya bangsa Indonesia.

Sejarah Perkembangan Batik Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa..
Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.
+Pembatikan di Jakarta
Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-XIX. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan didaerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar didekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.
Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim kedaerah-daerah diluar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.
Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan ditempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat disekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo dan Banyumas.
Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta.
Pembatikan di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan dikota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang didaerah ini.
Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saaingnya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan ditrapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapore melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa, kembali berdagang dan perusahaanny a mati.
Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramajunan, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi dipulau Jawa ini. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.

Postmodern, Postmodernism, Postmodernity

Postmodern dan paham yang lahir karenanya (postmodernism)
Post modernisme secara harafiah dapat diartikan sebagai sebuah masa setelah masa modern, pun dapat diartikan sebagai sebuah zaman yang melahirkan manusia dengan pemikiran yang boleh jadi melawan konsepsi-kosepsi yang dipegang oleh modernisme itu sendiri. Post modernisme menjanjikan sebuah pemahaman akan sebuah dunia baru dengan gejala pemikiran manusia akan perkembangan dunia yang semakin cair dan luwes. Meskipun banyak pemikiran post-modernis melawan pakem-pakem yang dipegang oleh modernis, post modern itu senidiri pun menolaknya. Post modernis mengaku hanya mengkritisi dan mencoba merevisi kesalahan kesalahan modernisme.
Post-modern adalah sebuah ekspansi besar-besaran oleh skeptisisme yang ‘melanda’ masyarakat global terhadap aspek-aspek hidup secara mendasar, hal ni menyangkut banyak aspek, seperti hukum, budaya, seni, arsitektur, musik, desain, jurnalisme, dll. Skeptitisme yang cukup melekat pada pemikiran masyarakat paska modern melahirkan sebuah budaya kritis dan mempertanyakan banyak hal. Cenderung membuar masyarakat berhati –harti dalam bertindak. Menolak sikap pasrah akan aturan aturan dan menuntut akan kebebasan yang sebebas-bebasnya yang kemudian mengacu pada digalakannya liberalisme dan kapitalisme. Postmodernisme menghalalkan berkembangnya pemikiran manusia pada apapun  dalam skala tertentnu sampai ekstrem, bakan melampaui batas norma, nilai, agama, etika, dan hukum. Masyarakat paska modern menuntut pertanggung jawaban akan tindakan yang dilakukan manusia. Pemikiran yang tanpa cela, penuh riset, dan tak terbantahkan dalam melatarbelakangi sebuah perlakuan akan sesuatu pada akirnya akan membuat manusia menghalalkan semua tindakan yang dilakukan. Post modern adalah sebuah zaman ketika manusia mencapai sebuah kemerdekaan dalam berfikir dan mengkritisi tanpa batas, menadai dunia yang kian terbuka dengan manusianya yang kian cair dalam betindak dan berfikir. Sebuah penilaian dan justifikasi pada sesuatu menjadi amat sangat tidak relevan, mengacu pada dibolehkannya setiap pemikiran manusia terhadap hal yang dinilainya dengan catatan pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang kuat secara mendasar dan mampu membenarkan. Meskipun potmodern menawarkan sebuah revolusi besar-besaran akan kebebasan berfikir, post modern pun merupakan titik tolak kembali diangkatnya humaniora (hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, hal yang menjadikan manusia manusia) ditengah gejolak robotisasi manusia yang dipicu oleh kekakuan yang dicetuskan modernisme yang secara hakiki mengalienisasi manusia. Dilihat dari dikembalikannya manusia pada unsur pembentuk dan sifatnya, lahirlah sebuah pemikiran bahwa manusia adalah mahluk yang berfikir, dan dibatasinya ruang berfikir manusia (dengan adanya aturan, regularisasi, dll) adalah seseuatu yang dapat menghilangkan sifat manusia yang paling mendasar itu sendiri. Melahirkan kebebasan berfikir yang telah saya singgung sebelumnya.

Sejarah dan munculnya
Istilah post modern pertama kali dicetuskan oleh sekitar tahun 1870-an di beberapa tempat, salah satunya adalah John Watknis Chapman yang mengemukakan adanya sebuah gaya baru dalam lukisan yang disebut a Postmodern style of painting sebagai sebuah genre luksisan setelah Impresionisme Prancis.
Dalam dunia journalisme J.M. Thompson pada tahun 1914 menyatakan bahwa postmodernisme adalah sebuah perubahan tingkah laku masyarakat yang kian kritis yang diubgkapkannya dalam media The Journal Hibbert
Selanjutnya pada tahun 1917 Rudolf  Pannwitz  menyatakana bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang menggambarkan budaya masyarakat yang filosofis, mempertanyakan satu dan lain hal, bahkan lebih jauh lagi, tidak hanya mempertanyakan dan mencari jawabannya, namun juga mengkritisinya.
Post-modernisme pun merambah bidang arsitektur, istilah ini digunakan sebagai sebuah gerakan baru dalam perkembangan arsitektur bangungan sebagai bentuk ketidakpuasan akan arsitektur modern, yang dicetuskan dengan hadirnya International Style yang menggembar-gemborkan frasa Less is More, dengan menghilangkan ornamen dan menitikberatkan arsitektur pada segi fungsi, dan meminimalisir setiap bagian yang dirasa kurang efisien dan tidak fungsional.
Dalam bidang seni, post modernisme menghadirkan sebuah penyegaran karena dihilangkannya batasan-batasn yang kaku dalam berkarya dan memberikan keleluasan bagi seniman dalam skala yang amat besar, hingga tercetus frasa Anything Goes yang lekat dengan perkembangan postmodern di bidang seni .keleluasan berkarya ini tidak terbatas hanya pada media yang kemudian menghadirkan banyak media baru yang kadang membingungkan karena pernah dianggap sebagi media yang tabu untuk digunakan sebagai media berkarya seni. Perkembangan dan kebebasan berkarya di bidang seni kemudian dikelompokkan dalam new media art yang disejajarkan dengan media seni konvemsional. Ketidaklaziman penggunaan media yang maraca dilakukan pada era postmodern pertama kali tercetus oleh keradikalan penggunaan media yang dilakukan Duschamp yang kala itu memerkan sebuah kloset di sebuah pameran karya seni. Hal ini kemudian menuai banyak krtik dari masyarakat seni kala itu dan mengantarkan seni rupa ke babak baru dimana eksplorasi media sampai batas yang ekstrim dilazimkan. Uniknya, perkembangan media seni rupa seringkali sampai pada pemikiran yang sangat baru, bahkan mungkin suaru saat karya seni rupa tidak semata-mata terikat akan rupa itu sendiri. Seperti lahirnya sound art dan conceptual art. Praktek seni eksperimental yang seringkali menggunakan media yang sama sekali abstrak pun dikategorikan pada karya seni. Selain pada penggunaan media, paham post modernisme pada seni rupa mengafeksi aspek-aspek kesenirupaan yang lainya, salah satunya mengenai unsur tertinggi dan paling mendasar dalam senirupa, yakni estetika, dikembalikannya seni kepada masyarakat menjadikan seni kembali mengangkat permasalahan sosial dan menganggap keremeh-temehan adalah sesautu yang boleh saja diangkat, fungsi seni pun kembali diperluas sebagai reaksi kritis akan konsep pemurnian seni yang digalakan modern.
Pada akhirnya istilah post-modern dianggap sebagai sebuah zaman yang melahirkan sebuah pemahaman filosofis yang merangkul semua aspek hidup masyarakat global, baik dalam seni, musik, literatur, jurnalisme, manajemen, bisnis, dan aspek lainnya, yang merespon keras cakupan luas imperialisme, universalisme, dan sekulerisme dari zaman modern beserta pahamnya. Post modernisme beruapaya untuk menajadi titik tengah antara dikotomi dunia yang melingkupinya secara holistik. Antara arus global dan lokal, tradisi dan modern, antara fungsi sekulerisme dan spiritualisme, keseragaman dan kemajemukan, dll. Titik tengah dan juga area yang paling abu-abu ini dianggap sebagai bentuk sikap yang (mungkin saja) sekarang ini paling tepat untuk menyikapi dunia yang amat kompleks dan majemuk, sekaligus terintegrasi satu sama lain. Post modern pun pada akhirnya merupakan salah satu bagian dari budaya kontemporer pada masyarakat post-industri kala ini.

Post-modernitas
Post modernitas adalah keadaan masyarakat ketika menerima dan mempraktikan paham-paham post modernis. Biasanya indikasi terbesar dapat terlihat dari aspek ekonomi, budaya, dan kondisi masyarakat yang biasnya dalam ruang lingkup sebuah negara (riset mengenai ekonomi, budaya, dan kondisi kemasyarakatan akan lebih jelas ketika dilakuan per negara) ketika ‘mengamini dan mengamalkan’ post modern itu sendiri. Postmodernitas pun dapat diartikan sebagai dampak yang terjadi pada masyarakat ketika ditinggalkannya paham-paham kaku yang ditawarkan di zaman modern menjadi masyarakat yang filosofis dan kritis.
Pada era modernisme, masyarakat diarahkan untuk menerima konsep-konsep rasional dan realstis demi mencapai kemajuan di berbagai bidang. Namun sayangnya, ketika rasio dan realita dipegang sebagai acuan utama dalam kebudayan ,muncul indikasi akan hilangnya rasa-rasa kemanusian (humaniora) yang akan mengasingkan manusia dari manusianya. Terjadi sebuah paradoks ketika manusia mencoba untuk mencoba meraih dan menambah  kemampan rasio dan kecakapannya dalam menanggapi realitas namun harus menghilangkan sifat dasar dari manusia. Dan postmodernisme hadir sebagai solusi untuk kembali memanusiakan manuisa. Sikap modernisme yang membawa paham sekulirsme, universalisme, pemerataan, dianggap sebagi sebuah paham yang tidak cocok ddengan sifat alamiah manusia yang seyogyanya berbeda. Modernisme sringkali dianggap salah satu gerakan evolusi peradaban manusia yang salah, dan post-modernism lebih berkonotasi positif karena memberikan keleluasan bagi masyarakat untuk menentukan tindakan  namun, tentu saja, apa yang dianggap salah pada moderninsme tidak bisa dihilangkan begitu saja. Terbukti bahwa universalisme tetap saja dipegang oleh masyarakt dunia dan tidak serta kembali kepada kearifan lokal.
Salah satu dampak yang cukup menarik dari hadirnya postmodernitas adalah relativisme yang kian rumit untuk dimengerti. Menolak konsep utopia ang ditawarkan oleh modernisme. Paham post modern tentu saja dirasa lebih dalam dan rinci dalam memahami sesutau. Sebut saja dalam estetika, modernisme berpegang teguh pada estetika yang menjadikan keindahan sebagai acuan utama, namun salah satu pelukis ternama, Van Gogh mencoba untuk sedikit mendobrak utopiasme modernisme dengan menampilkan kesenduan dalam karyanya, sehingga cakupan estetika pun tidak terbatas pada indah secara harifah. Kelenturan berfikir ini pun menrambah aspek kemasyrakatan lainnya, ketika nilai benar dan salah dan jtaam dikotomi lainnya kian menjadi abu-abu, dan memang, post modernisme itu sendiri berada pada gray area yang mencoba menangahi keduanya. Bahkan lebih jauh lagi, postmoderniseme mampu melazimkan sesuatu yang tidak lazim, atau bahkan menyimpang. Kembali postmodernisme berpegang pada kelenturan meraka yang tidak menjustifikasi seperti yang dilakukan modernisme, namun lebih mengkritisi dan berada di tengah-tengah dikotomi.
Salah satu dampak postmodernitas yang terjadi secara global dan menyeluruh dan menarik untuk dikritisi adalah masalah ekonomi global. Modernisme yang menjanjinkan kemajuan peradaban dunia dengan digalakannya perdaganagn bebas (karena konsepsi univerasalisme yang mereka pegang) lewat paham pemilik modal dan kapitalisme pun pada akhirnya hanya kaan menguntungkan pihak-pihak pemilik modal yang notabene hanya akan mensejahterakan segelintir pihak. Tidak mensejahteraan masyarakat secara universal, hal ini kemudian dianggap sebagai salah satu kesalahan modernisme yang cukup signifikan. Yang kemudian dilawan oleh post-modernisme. Konsep kapitalisme sudah barang tentu menuai banyak kritisi pedas dari para pengamat budaya. Terlebih karena kapitaslisme selalu berupaya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi sehingga efisisni modal dapat dilakukan, seringkali dalam prakteknya, kapitalisme menghapus nilai-nilai kemanusiaan, dan menenggelamkan manusia dalam keserakahan yang akan menghilangkan sifat-sifat manusianya. Kembali, mengalienasi manusia.
Pada perkembangannya, manusia merasa angin kapitalisme yang kian membutakan manusia dapat berdampak buruk pada masyrakat global dalam skala yang cukup bear dan jangka yang panjang, maka kapitalisme itu pun kemudian dilawan oleh lahirnya paham baru yag disebut post-modernisme yang menwarkan kembali ditiliknya rasa-rasa kemanusiaan ditengah dunia yang kain munafik dan selalu ingin menang sendiri. Timbul suatu paham bahwa kapitalisme dapat menanamkan konsumerisme sebagai cikal bakal penghilangan kemanusiaan. Sikap selektif fan kritis akan menghadapi arus ekonomi pasar bebas adalah solusi menurut post-modernisme. Menghimbau manusianya untuk kembali melihat sekitar dan peduli, menawarkan sebuah dunia baru yang sedikit lebih pengertian. Seidkit menghadirkan paham sosialis yang dahulu selalu dibantah sebagai penyeimbang arus pasar bebas yang kian berubah dah menjauhi manusia.

Kritik terhadap post-modern
Meskipun postmodernisme nampak menjanjikan dan tanpa cela, terdapat beberapa celah yang bisa menjatuhkan paham ini. Salah satunya adalah kerancuan dan ketidakpastian yang melekat pada paham ini sebagai konsekuensi dari melenturnya pemikiran manusia. Beberapa pihak masih menyangkal bahwa postmodernisme, meski memberikan solusi tengah, dinilai tidak konsisten dalam memperlakukan sesuatu. Bersikap apatis dan hanya mengkritisi, kemudian lepas tangan dan merasa aman karena tidak ingin ikut campur menyelesaikan masalah. Lebih jauh lagi, dikhawatirkan paham ini akan melahirkan medioker yang hanya ikut-ikutan mengkritisi tanpa riset lebih dalam dan hipokrit yang hanya bisa mengkritisi tanpa bertindak, atau bahkan tidak mengamini dengan perlakuan terhadap apa yang telah dikritisi.
Selain itu, post modernisme dianggap tidak konsisten, meskipun post-modernisme adalah sebuah idealisme akan menyikapi hegemoni pegrerakan dunia, post modernisme itu sendiri dianggap berpegang pada sesauatu yang tidak ingin mengukuhkan pijaknnya. Paradoks yang cukup membingungkan pihak-pihak yang mungkin memerlukan kejelasan dalam bertindak. Seringkali sikap apatis dari postmodernis ditentang oleh para penganut paham modern, karena meskipun modernisme ditentang dengan keras, tetap saja menyisakan jejak atas konsepsinya mengani dunia. Tetap saja pasar bebas dan universalisme dijunjung oleh dunia ini meski jelas-jelas ditentang.
Post modernisme pun menjadi amat sangat membingungkan. Amat abu-abu. Sangat relatif dan tidak mengukuhkan diri. Berkesan selalu takut dalam menentukan pilihan dan hanya akan mengkritisi, melahirkan manusia yang pandai mengkritisi namun ragu dalam memnentukan sikap. Hanya akan mengadirkan banyak pengamat hebat, tapi ragu dalam mengambil tindakan.

Pengaruh postmodernisme pada seni rupa
Telah sedikit saya ungkap sebelumnya, postmodernisme mengafeksi aspek-aspek kehidupan scara general dan holistik, pun seni dan estetika. Pada masa modern, seni dicoba untuk dimurnikan dari distorsi-distorsi yang mungkin terjadi karena adanya implementasi dari aspek-aspek yang dahulu melebur dengan seni. Seperti tradisi dan kemasyarakatan.  Seni kala itu (masa modern) meminjam konsepsi konsepi modernisme, sepeti universalisme seni, sekulerisme seni, pemurnian dan pengkerucutan seni (klasifikasi yang jelas),  dan pengesklusidan seni. berangkat dari pemikiran tersebut perkembangn karya seni menjadi amat kaku. Seni amat ditinggikan dan diperuntukkan bagi kaum ningrat saja. Seni dimurnikan dan terbatas hanya pada masalah estetis saja (pada seni abstrak), tabu dalam membicarakan hal-hal yang bersifat remeh-temeh, dipisahkan dari masyarakat, menunjung orisinalitas, dan dijauhkan dari tradisi. Semua perlakuan diatas merupakan hasil dari pemikiran modernisme yang amat berpegang pada rasionalitas dan realitas, sehingga membatasi ruang berkarya. Seni terbatas pada media seni konvensional yang tinggi orisinilalitas dan amat eksklusif. Sehingga seni lukis dan patunglah yang medominasi penggunaan media pada seni rupa modern.   Sedangkan seni grafis dan keramik masih berkonotasi rakyat, tidak ningrat, dianggap tidak seeksklusif media lukis dan patung, namun seiring perkembangannya, kedua media tersebut dipandang patut disejajarkan dengan media seni sebelumnya, seperti yang dilakukan Andy Warhol, yang merusak  tatanan media seni tinggi dan seni rendah dengan memadukan keduanya, seperti karya silkscreenya (serigrafi kala itu diangap media rakyat) pada sebuah kanvas (yang biasa digunakan untuk melukis yang berkonotasi seni tinggi).
Dikemudian hari, paham modernisme yang terdapat pada senirupa mendapat resisitensi dari kekritisan pemikiran publik seni. pun mengungkap bahwa terjadi kesalahan pada modernisme seni ini. Hal ini juga dipengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat global yang memasuki gerbang pemikiran filosofis yang dibawa postmodernisme. Bentuk resistensi ini pun dikenal dengan postmodernisme seni yang membawa angin segar dalam dunia seni rupa. Dengan bertambah lenturnya pemikiran publik akan seni, penggunaan media pun menjadi amat tak terbatas bahkan melampaui norma-norma etis. Post modernisme berusaha untuk meminjam pemikiran masa lalu mengenai seni, menitilkberatkan pada meleburnya seni dengan masyarakat dan tradisi. Seni diupayakan untuk kembali melebur dengan keduanya. Diangkatnya kembali isu-isu sosial dalam karya seni tentunya menambah kaya ruang lingkup batasan karya. Seni kembali berfungsi sosial dan pribadi. Seniman kembali diperbolehkan untuk menyisipkan muatan-muatan pribadi dalam karyanya. Selain itu, seni pun dianggap dapat menjadi media yang digunakan untuk mengkritisi masalah sosial yang kian rumit. Diangkatnya kembali hal-hal yang tidak general (umum) dan berskala kecil dan remeh temeh pada karya seni pun tak disia-siakan oleh para seniman untuk menuangkannya pada karya. universalisme seni pun diporak-poranda kan oleh dihalalkannya pengangkatan isu lokal pada karya seni , penanaman kearifan lokal pada karya seni merupakan dampak dari diperbolehkannya pengkaryaan tradisi yang tentu saja bersifat sangat lokal pada karya seni.
Seni pada masa post-modern kian cair dan semakin luas cakupannya, menjajal sebuah babak baru dengan tawaran kebebasan dan kemerdekaan berkarya secara menyeluruh, namun tetap saja, konsekuensi dari konsepsi dasar postmodernisme, yakni kritisisme dan budaya filosofis, menuntut riset yang kian dalam dan meyelurub dalam berkarya, sehingga karya seni dewasa ini tidak terbatas pada pemasalahan visual dan estetis saja, namun juga mengenai pertanggungjawaban gagasan yang dituangkan seniman dalam karyanya. Bahakan tak jarang, pertanggungjawaban karya lebih dipentingkan dan diutamakan. Terutama pada karya-karya seni konseptual dan eksperimental, pertanggungjawaban karya adalah hal yang paling ditamakan. Ini merupakan cerminan dari budaya filosofis dan kritis yang tadi saya utarakan.
Meskipun banyak nilai positif yang bisa dipetik dari seni postmodernisme, tetap timbul sebuah permasalahan yang cukup pelik ketika eksistensi mengenai ruang lingkup postmodernisme itu sendiri. Ketika paham ini mencoba untuk mengembalikan seni ke koridor masa lalu tapi tetap membawa pengaruh-pengaruh modernisme yang amat bertentangan dengan apa yang hendak dikembalikan. Meskipun begitu, banyak pula pemikir mengemukakan bahwa postmodernisme memang berupaya, dan mungkin baru sampai pada tahap ‘meminjam’ pemikiran-pemikiran masa lalu yag dianggap lebih baik. Belum mampu atau bahkan mungkin tidak bisa mengembalikan seni pada konespsi-konsepsi terdahulu. hal ini tercermin dari tetap digalakannya pengeksklusifan seni dan adanya profesi seniman yang notabene adalah produk modernisme. Ketika seni melebur dengan masyarakat, profesi seniman pun melebur dengannya, seniman hanyalah bagian dari masyarakat yang seyogyanya tidak menggembar-gemborkan eksistensinya, dan kemudian berujung pada kepemilikan karya seni yang seharusnya dimiliki publik, mengacu pada anonimisme karya seni pada koridor masa lalu.

Sejarah Perkembangan Seni Grafis Indonesia

Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara sadar menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan objek-objek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis diterjemahkan dari kata printmaking yang berasal dari bahsa inggris. Seni grafis mencakup beberapa teknik yang terus berkembang seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Teknik grafis secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat teknik utama, yakni, cetak datar, cetak tinggi (relief), cetak saring (serigrafi), dan cetak dalam (intaglio). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti digital print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian diterima sebagai karya grafis oleh medan sosial seni.
Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang eksploratif yang dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah pencapaian estetik tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan sebuah karya seni (grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis sang seniman dan ide yang ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek tersebut kemudian menjadi lebur dan tertuang dalam sebuah karya grafis. Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36 Pemandangan Gunung Fuji oleh Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 – 1831, menggambarkan sebuah karya grafis penuh yang sampai sekarang masih diperhitungkan eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah adikarya yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan teknis, juga kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram karya ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.
Karena kemampuannya dalam menduplikasi diri, karya-karya seni grafis di dunia mampu menjangkau beberapa lapisan masyarakat. tidak melulu terbatas  pada kalangan elite. Meskipun penghargaan (sercara benar-benar harafiah) oleh pasar pada karya-karya grafis tidak semahal lukisan atau patung, karya grafis diharapkan mampu mencapai beberapa lapisan masyarakat dan menjalankan beberapa fungsi seni, seperti seni sebagai penyadaran, dll, sehingga eksistensi seni diharapkan mampu menunjukan signifikasinya, degan konsekuensi yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Proses cetak yang menjadi prinsip utama dalam seni grafis ditujukan untuk reduplikasi karya, dengan ‘itikad baik’ seperti yang telah diulas pada paragraph sebeumnya, menghadirkan problematika dilematis yang cukup signifikan dalam perkembangan karya-karya grafis. Yang kemudian dapat dikelompokkan kepada dua masalah utama, yakni proses cetak yang amat teknis dan mendatangkan banyak kerumitan di dalamnya, dan justifikasi pasar pada karya seni grafis.
Teknik cetak grafis yang dikelompokkan dalam 4 proses cetak (cetak datar, tinggi, dalam, dan saring) mememerlukan bantuan banyak alat dan mesin, sehingga dalam proses pembuatannya, seniman dituntut untuk memilki kemampuan teknis yang baik dan mendalam, atau uniknya meminta bantuan pada pihak yang mendalami teknis grafis dengan konsisten. Secara garis besar proses pembuatan karya grafis dibedakan menjadi dua, proses pembuatan matriks dan proses pencetakkan karya, yang di dalamnya terdapat rangkaian proses yang saling berkesinambungan bagaikan sebuah untaian rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain seara berkesinambungan. Karena kerumitannya, proses pembuatan karya grafis dapat dinilai memrlukan effort lebih dibandingkan dengan membuat karya lukisan, sehingga seringkali menyulitkan seniman untuk berkarya grafis. Selain itu, karena jumlahnya yang banyak, dan tidak tunggal, eksistensi karya grafis di pasar tidaklah sesignifikan karya lukisan yang sifatnya tunggal yang kemudian membawa nilai eksklusifitas di dalamnya, karena pasar dikuasai oleh kaum elite yang tentunya menggemari dan memburu eksklusifitas, demi menjaga pestise dari karya itu sendiri. Para pelaku pasar seringkali lupa bahwa pada praktiknya karya grafis memang diperuntukkan untuk dimiliki oleh beberapa pihak, bukan dikoleksi secara pribadi. Sehingga pasar sering meniai karya grafis sebagai ‘seni kelas dua’. Kekurang-tertarikannya pasar pada karya seni grafis sedikit banyak membuat  eksistensi karya ini semakin lama semakin lemah, bahkan di beberapa daerah yang iklim medan sosial seninya tidak sehat, hampir tidak diperhitungkan lagi. Serangkaian masalah tadi kemudian mampu dianggap sebagai masalah-masalah utama yang menyebabkan perkembangan seni grafis yang lesu.
Di Indonesia, seni grafis bahkan mendapat perlakuan yang lebih tidak kondusif lagi, selain amat sangat terbatasnya media-media pendukung pembuatan karya seni grafis, pasar yang amat mendominasi medan sosial seni, kerancuan penggunaan istilah grafis yang berdampak pada publikasi teknik-teknik grafis konvensional yang membingungkan kerap kali makin makin membuat seni grafis makin tidak dirasakan eksistensi dan peranannya dalam seni rupa Indonesia. Penggunaan istilah grafis di Indonesia dalam kesehariannya seringkali membingungkan. Karena kata grafis di Indonesia seringkali berkaitan dengan objek-objek grafis yang lekat dengan displin desain grafis, sehingga penggunaan istilah seni grafis seringkali disalahartikan. Hal ini berkesan sepele, namun pada perkembangannya, keancuan ini seringkali menjadi masalah yang kemudian mendapatkan signifikasi yang cukup besar di kalangan awam.

SENI GRAFIS DI INDONESIA

Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia berkat digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood engraving dan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat darinyalah seni grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari khazanah akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing.
Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas dua, dan seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam aspek yang saling menagkumulasi satu sama lain. Seperti yang telah saya ungkap seelumnya, seni grafis amatlah bergantung pada proses yang bersifat amat teknis. Keterbatasan dan kelangkaan alat dan mesin cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para seniman grafis yang dengan terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau bahkan menggeluti bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini memang bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun bahkan dialami oleh institusi akademi  seni di Indonesia. Tercatat bahwa hanya Institut Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan alat-alat pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak datar, dan cetak saring yang dianggap memadai, bahkan dengan catatan bahwa sarana yang diberikan adalah standar ‘mahasiswa’, yang berkesan seadanya dan kuran terawat. Minimnya mesin cetak yang tersedia di Indonesia memang disebabkan oleh mahalnya biaya pengadaan mesin dan kelangkaan akses dalam meraihnya. Bahkan beberapa alat dan bahan pendukung pun seringkali harus didatangkan langsung dari Jerman, negri dimana seni grafis lahir dan berkembang.
Problematika diatas pun didukung oleh pernyataan beberapa pihak yang meneliti sejarah perkembangan seni grafis. Seni grafis dari awal perkembangannya hanyalah dianggap sebagai pendamping karya-karya lukisan dan patung, dan juga sebagai proses berkarya sampingan yang dilakukan seniman yang seyogyanga mendalami cabang seni yang lebih ‘tulen’, seperti seni lukis dan seni patung. Seni grafis pada awalnya sebatas ‘numpang’ muncul di pameran seni bersanding karya lukisan dan patung. Meskipun demikian, seni grafis pernah dianggap sebagai cabagn seni yang ikut berjasa bagi kehidupan kenegaraan Indonesia, dengan mengirim karya-karya grafis ke luar negri pada peryaan tahun pertama kemerdekaan Indonesia, 1946, sebagai upaya memeberi kesan bahwa Indonesia adalah negara yang berbudaya, meski baru satu tahun merdeka. Perkembangan seni grafis pada awal kemerdekaan Indonesia dinilai sebagai tenggat waktu eksplorasi para seniman untuk mendalami dan menyerap ilmu mengani teknik cetak grafis. Nampak pada beberapa karya grafis Mochtar Apin, Sudjana Kerton, dan Poppo Iskandar yang menekuni studi visual menggunakan teknik cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi yang merebak luas di dunia
Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan dengan hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran ‘Seni Grafis Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin, Haryadi Suadi, A.D. Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya, lahirlah kelompok grafis Decenta yang beranggotakan Pirous, Sunaryo, Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi Kusnidar yang mendalami teknik serigrafi yang kala itu sedang berkembang didukung laju perkembangan industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini kemudianmulai menggeluti desain grafis karena kecenderungan karya sablon yang mampu dicetak dan direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat. beberapa darinya seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian mengembangkan akademi desain grafis di Indonesia.
Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada
media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.
Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.
Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya, namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan teknik cetak yang digunakan.
Seni grafis kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya, baik secara visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya grafis kemudian mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya kemudian melahirkan seniman yang memiliki pola kerja yang teratur dan pemikiran yang terstruktur. Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik. Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara filosofis.
Dapat disimpulkan dari sedikit uraian diatas bahwa seni grafis Indonesia bukanlah cabang seni yang murahan, pinggiran, dan kelas dua, namun dapat dipandang sebagai cabang seni yang melahirkan seniman yang memiliki kekhasan baik dalam pemikiran maupun kekaryaanya. Mampu menunujukan eksistensinya dalam memperkarya seni rupa Indonesia.

 
Aji Nur Kamil. Powered by Blogger.