Postmodern dan paham yang lahir karenanya (postmodernism)
Post modernisme secara harafiah dapat diartikan sebagai sebuah masa
setelah masa modern, pun dapat diartikan sebagai sebuah zaman yang
melahirkan manusia dengan pemikiran yang boleh jadi melawan
konsepsi-kosepsi yang dipegang oleh modernisme itu sendiri. Post
modernisme menjanjikan sebuah pemahaman akan sebuah dunia baru dengan
gejala pemikiran manusia akan perkembangan dunia yang semakin cair dan
luwes. Meskipun banyak pemikiran post-modernis melawan pakem-pakem yang
dipegang oleh modernis, post modern itu senidiri pun menolaknya. Post
modernis mengaku hanya mengkritisi dan mencoba merevisi kesalahan
kesalahan modernisme.
Post-modern adalah sebuah ekspansi besar-besaran oleh skeptisisme
yang ‘melanda’ masyarakat global terhadap aspek-aspek hidup secara
mendasar, hal ni menyangkut banyak aspek, seperti hukum, budaya, seni,
arsitektur, musik, desain, jurnalisme, dll. Skeptitisme yang cukup
melekat pada pemikiran masyarakat paska modern melahirkan sebuah budaya
kritis dan mempertanyakan banyak hal. Cenderung membuar masyarakat
berhati –harti dalam bertindak. Menolak sikap pasrah akan aturan aturan
dan menuntut akan kebebasan yang sebebas-bebasnya yang kemudian mengacu
pada digalakannya liberalisme dan kapitalisme. Postmodernisme
menghalalkan berkembangnya pemikiran manusia pada apapun dalam skala
tertentnu sampai ekstrem, bakan melampaui batas norma, nilai, agama,
etika, dan hukum. Masyarakat paska modern menuntut pertanggung jawaban
akan tindakan yang dilakukan manusia. Pemikiran yang tanpa cela, penuh
riset, dan tak terbantahkan dalam melatarbelakangi sebuah perlakuan akan
sesuatu pada akirnya akan membuat manusia menghalalkan semua tindakan
yang dilakukan. Post modern adalah sebuah zaman ketika manusia mencapai
sebuah kemerdekaan dalam berfikir dan mengkritisi tanpa batas, menadai
dunia yang kian terbuka dengan manusianya yang kian cair dalam betindak
dan berfikir. Sebuah penilaian dan justifikasi pada sesuatu menjadi amat
sangat tidak relevan, mengacu pada dibolehkannya setiap pemikiran
manusia terhadap hal yang dinilainya dengan catatan pemikiran tersebut
dilatarbelakangi oleh sesuatu yang kuat secara mendasar dan mampu
membenarkan. Meskipun potmodern menawarkan sebuah revolusi besar-besaran
akan kebebasan berfikir, post modern pun merupakan titik tolak kembali
diangkatnya humaniora (hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, hal
yang menjadikan manusia manusia) ditengah gejolak robotisasi manusia
yang dipicu oleh kekakuan yang dicetuskan modernisme yang secara hakiki
mengalienisasi manusia. Dilihat dari dikembalikannya manusia pada unsur
pembentuk dan sifatnya, lahirlah sebuah pemikiran bahwa manusia adalah
mahluk yang berfikir, dan dibatasinya ruang berfikir manusia (dengan
adanya aturan, regularisasi, dll) adalah seseuatu yang dapat
menghilangkan sifat manusia yang paling mendasar itu sendiri. Melahirkan
kebebasan berfikir yang telah saya singgung sebelumnya.
Sejarah dan munculnya
Istilah post modern pertama kali dicetuskan oleh sekitar tahun
1870-an di beberapa tempat, salah satunya adalah John Watknis Chapman
yang mengemukakan adanya sebuah gaya baru dalam lukisan yang disebut a
Postmodern style of painting sebagai sebuah genre luksisan setelah
Impresionisme Prancis.
Dalam dunia journalisme J.M. Thompson pada tahun 1914 menyatakan
bahwa postmodernisme adalah sebuah perubahan tingkah laku masyarakat
yang kian kritis yang diubgkapkannya dalam media The Journal Hibbert
Selanjutnya pada tahun 1917 Rudolf Pannwitz menyatakana bahwa
postmodernisme adalah sebuah istilah yang menggambarkan budaya
masyarakat yang filosofis, mempertanyakan satu dan lain hal, bahkan
lebih jauh lagi, tidak hanya mempertanyakan dan mencari jawabannya,
namun juga mengkritisinya.
Post-modernisme pun merambah bidang arsitektur, istilah ini digunakan
sebagai sebuah gerakan baru dalam perkembangan arsitektur bangungan
sebagai bentuk ketidakpuasan akan arsitektur modern, yang dicetuskan
dengan hadirnya International Style yang menggembar-gemborkan frasa Less
is More, dengan menghilangkan ornamen dan menitikberatkan arsitektur
pada segi fungsi, dan meminimalisir setiap bagian yang dirasa kurang
efisien dan tidak fungsional.
Dalam bidang seni, post modernisme menghadirkan sebuah penyegaran
karena dihilangkannya batasan-batasn yang kaku dalam berkarya dan
memberikan keleluasan bagi seniman dalam skala yang amat besar, hingga
tercetus frasa Anything Goes yang lekat dengan perkembangan postmodern
di bidang seni .keleluasan berkarya ini tidak terbatas hanya pada media
yang kemudian menghadirkan banyak media baru yang kadang membingungkan
karena pernah dianggap sebagi media yang tabu untuk digunakan sebagai
media berkarya seni. Perkembangan dan kebebasan berkarya di bidang seni
kemudian dikelompokkan dalam new media art yang disejajarkan dengan
media seni konvemsional. Ketidaklaziman penggunaan media yang maraca
dilakukan pada era postmodern pertama kali tercetus oleh keradikalan
penggunaan media yang dilakukan Duschamp yang kala itu memerkan sebuah
kloset di sebuah pameran karya seni. Hal ini kemudian menuai banyak
krtik dari masyarakat seni kala itu dan mengantarkan seni rupa ke babak
baru dimana eksplorasi media sampai batas yang ekstrim dilazimkan.
Uniknya, perkembangan media seni rupa seringkali sampai pada pemikiran
yang sangat baru, bahkan mungkin suaru saat karya seni rupa tidak
semata-mata terikat akan rupa itu sendiri. Seperti lahirnya sound art
dan conceptual art. Praktek seni eksperimental yang seringkali
menggunakan media yang sama sekali abstrak pun dikategorikan pada karya
seni. Selain pada penggunaan media, paham post modernisme pada seni rupa
mengafeksi aspek-aspek kesenirupaan yang lainya, salah satunya mengenai
unsur tertinggi dan paling mendasar dalam senirupa, yakni estetika,
dikembalikannya seni kepada masyarakat menjadikan seni kembali
mengangkat permasalahan sosial dan menganggap keremeh-temehan adalah
sesautu yang boleh saja diangkat, fungsi seni pun kembali diperluas
sebagai reaksi kritis akan konsep pemurnian seni yang digalakan modern.
Pada akhirnya istilah post-modern dianggap sebagai sebuah zaman yang
melahirkan sebuah pemahaman filosofis yang merangkul semua aspek hidup
masyarakat global, baik dalam seni, musik, literatur, jurnalisme,
manajemen, bisnis, dan aspek lainnya, yang merespon keras cakupan luas
imperialisme, universalisme, dan sekulerisme dari zaman modern beserta
pahamnya. Post modernisme beruapaya untuk menajadi titik tengah antara
dikotomi dunia yang melingkupinya secara holistik. Antara arus global
dan lokal, tradisi dan modern, antara fungsi sekulerisme dan
spiritualisme, keseragaman dan kemajemukan, dll. Titik tengah dan juga
area yang paling abu-abu ini dianggap sebagai bentuk sikap yang (mungkin
saja) sekarang ini paling tepat untuk menyikapi dunia yang amat
kompleks dan majemuk, sekaligus terintegrasi satu sama lain. Post modern
pun pada akhirnya merupakan salah satu bagian dari budaya kontemporer
pada masyarakat post-industri kala ini.
Post-modernitas
Post modernitas adalah keadaan masyarakat ketika menerima dan
mempraktikan paham-paham post modernis. Biasanya indikasi terbesar dapat
terlihat dari aspek ekonomi, budaya, dan kondisi masyarakat yang
biasnya dalam ruang lingkup sebuah negara (riset mengenai ekonomi,
budaya, dan kondisi kemasyarakatan akan lebih jelas ketika dilakuan per
negara) ketika ‘mengamini dan mengamalkan’ post modern itu sendiri.
Postmodernitas pun dapat diartikan sebagai dampak yang terjadi pada
masyarakat ketika ditinggalkannya paham-paham kaku yang ditawarkan di
zaman modern menjadi masyarakat yang filosofis dan kritis.
Pada era modernisme, masyarakat diarahkan untuk menerima
konsep-konsep rasional dan realstis demi mencapai kemajuan di berbagai
bidang. Namun sayangnya, ketika rasio dan realita dipegang sebagai acuan
utama dalam kebudayan ,muncul indikasi akan hilangnya rasa-rasa
kemanusian (humaniora) yang akan mengasingkan manusia dari manusianya.
Terjadi sebuah paradoks ketika manusia mencoba untuk mencoba meraih dan
menambah kemampan rasio dan kecakapannya dalam menanggapi realitas
namun harus menghilangkan sifat dasar dari manusia. Dan postmodernisme
hadir sebagai solusi untuk kembali memanusiakan manuisa. Sikap
modernisme yang membawa paham sekulirsme, universalisme, pemerataan,
dianggap sebagi sebuah paham yang tidak cocok ddengan sifat alamiah
manusia yang seyogyanya berbeda. Modernisme sringkali dianggap salah
satu gerakan evolusi peradaban manusia yang salah, dan post-modernism
lebih berkonotasi positif karena memberikan keleluasan bagi masyarakat
untuk menentukan tindakan namun, tentu saja, apa yang dianggap salah
pada moderninsme tidak bisa dihilangkan begitu saja. Terbukti bahwa
universalisme tetap saja dipegang oleh masyarakt dunia dan tidak serta
kembali kepada kearifan lokal.
Salah satu dampak yang cukup menarik dari hadirnya postmodernitas
adalah relativisme yang kian rumit untuk dimengerti. Menolak konsep
utopia ang ditawarkan oleh modernisme. Paham post modern tentu saja
dirasa lebih dalam dan rinci dalam memahami sesutau. Sebut saja dalam
estetika, modernisme berpegang teguh pada estetika yang menjadikan
keindahan sebagai acuan utama, namun salah satu pelukis ternama, Van
Gogh mencoba untuk sedikit mendobrak utopiasme modernisme dengan
menampilkan kesenduan dalam karyanya, sehingga cakupan estetika pun
tidak terbatas pada indah secara harifah. Kelenturan berfikir ini pun
menrambah aspek kemasyrakatan lainnya, ketika nilai benar dan salah dan
jtaam dikotomi lainnya kian menjadi abu-abu, dan memang, post modernisme
itu sendiri berada pada gray area yang mencoba menangahi keduanya.
Bahkan lebih jauh lagi, postmoderniseme mampu melazimkan sesuatu yang
tidak lazim, atau bahkan menyimpang. Kembali postmodernisme berpegang
pada kelenturan meraka yang tidak menjustifikasi seperti yang dilakukan
modernisme, namun lebih mengkritisi dan berada di tengah-tengah
dikotomi.
Salah satu dampak postmodernitas yang terjadi secara global dan
menyeluruh dan menarik untuk dikritisi adalah masalah ekonomi global.
Modernisme yang menjanjinkan kemajuan peradaban dunia dengan
digalakannya perdaganagn bebas (karena konsepsi univerasalisme yang
mereka pegang) lewat paham pemilik modal dan kapitalisme pun pada
akhirnya hanya kaan menguntungkan pihak-pihak pemilik modal yang
notabene hanya akan mensejahterakan segelintir pihak. Tidak
mensejahteraan masyarakat secara universal, hal ini kemudian dianggap
sebagai salah satu kesalahan modernisme yang cukup signifikan. Yang
kemudian dilawan oleh post-modernisme. Konsep kapitalisme sudah barang
tentu menuai banyak kritisi pedas dari para pengamat budaya. Terlebih
karena kapitaslisme selalu berupaya untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi sehingga efisisni modal
dapat dilakukan, seringkali dalam prakteknya, kapitalisme menghapus
nilai-nilai kemanusiaan, dan menenggelamkan manusia dalam keserakahan
yang akan menghilangkan sifat-sifat manusianya. Kembali, mengalienasi
manusia.
Pada perkembangannya, manusia merasa angin kapitalisme yang kian
membutakan manusia dapat berdampak buruk pada masyrakat global dalam
skala yang cukup bear dan jangka yang panjang, maka kapitalisme itu pun
kemudian dilawan oleh lahirnya paham baru yag disebut post-modernisme
yang menwarkan kembali ditiliknya rasa-rasa kemanusiaan ditengah dunia
yang kain munafik dan selalu ingin menang sendiri. Timbul suatu paham
bahwa kapitalisme dapat menanamkan konsumerisme sebagai cikal bakal
penghilangan kemanusiaan. Sikap selektif fan kritis akan menghadapi arus
ekonomi pasar bebas adalah solusi menurut post-modernisme. Menghimbau
manusianya untuk kembali melihat sekitar dan peduli, menawarkan sebuah
dunia baru yang sedikit lebih pengertian. Seidkit menghadirkan paham
sosialis yang dahulu selalu dibantah sebagai penyeimbang arus pasar
bebas yang kian berubah dah menjauhi manusia.
Kritik terhadap post-modern
Meskipun postmodernisme nampak menjanjikan dan tanpa cela, terdapat
beberapa celah yang bisa menjatuhkan paham ini. Salah satunya adalah
kerancuan dan ketidakpastian yang melekat pada paham ini sebagai
konsekuensi dari melenturnya pemikiran manusia. Beberapa pihak masih
menyangkal bahwa postmodernisme, meski memberikan solusi tengah, dinilai
tidak konsisten dalam memperlakukan sesuatu. Bersikap apatis dan hanya
mengkritisi, kemudian lepas tangan dan merasa aman karena tidak ingin
ikut campur menyelesaikan masalah. Lebih jauh lagi, dikhawatirkan paham
ini akan melahirkan medioker yang hanya ikut-ikutan mengkritisi tanpa
riset lebih dalam dan hipokrit yang hanya bisa mengkritisi tanpa
bertindak, atau bahkan tidak mengamini dengan perlakuan terhadap apa
yang telah dikritisi.
Selain itu, post modernisme dianggap tidak konsisten, meskipun
post-modernisme adalah sebuah idealisme akan menyikapi hegemoni
pegrerakan dunia, post modernisme itu sendiri dianggap berpegang pada
sesauatu yang tidak ingin mengukuhkan pijaknnya. Paradoks yang cukup
membingungkan pihak-pihak yang mungkin memerlukan kejelasan dalam
bertindak. Seringkali sikap apatis dari postmodernis ditentang oleh para
penganut paham modern, karena meskipun modernisme ditentang dengan
keras, tetap saja menyisakan jejak atas konsepsinya mengani dunia. Tetap
saja pasar bebas dan universalisme dijunjung oleh dunia ini meski
jelas-jelas ditentang.
Post modernisme pun menjadi amat sangat membingungkan. Amat abu-abu.
Sangat relatif dan tidak mengukuhkan diri. Berkesan selalu takut dalam
menentukan pilihan dan hanya akan mengkritisi, melahirkan manusia yang
pandai mengkritisi namun ragu dalam memnentukan sikap. Hanya akan
mengadirkan banyak pengamat hebat, tapi ragu dalam mengambil tindakan.
Pengaruh postmodernisme pada seni rupa
Telah sedikit saya ungkap sebelumnya, postmodernisme mengafeksi
aspek-aspek kehidupan scara general dan holistik, pun seni dan estetika.
Pada masa modern, seni dicoba untuk dimurnikan dari distorsi-distorsi
yang mungkin terjadi karena adanya implementasi dari aspek-aspek yang
dahulu melebur dengan seni. Seperti tradisi dan kemasyarakatan. Seni
kala itu (masa modern) meminjam konsepsi konsepi modernisme, sepeti
universalisme seni, sekulerisme seni, pemurnian dan pengkerucutan seni
(klasifikasi yang jelas), dan pengesklusidan seni. berangkat dari
pemikiran tersebut perkembangn karya seni menjadi amat kaku. Seni amat
ditinggikan dan diperuntukkan bagi kaum ningrat saja. Seni dimurnikan
dan terbatas hanya pada masalah estetis saja (pada seni abstrak), tabu
dalam membicarakan hal-hal yang bersifat remeh-temeh, dipisahkan dari
masyarakat, menunjung orisinalitas, dan dijauhkan dari tradisi. Semua
perlakuan diatas merupakan hasil dari pemikiran modernisme yang amat
berpegang pada rasionalitas dan realitas, sehingga membatasi ruang
berkarya. Seni terbatas pada media seni konvensional yang tinggi
orisinilalitas dan amat eksklusif. Sehingga seni lukis dan patunglah
yang medominasi penggunaan media pada seni rupa modern. Sedangkan seni
grafis dan keramik masih berkonotasi rakyat, tidak ningrat, dianggap
tidak seeksklusif media lukis dan patung, namun seiring perkembangannya,
kedua media tersebut dipandang patut disejajarkan dengan media seni
sebelumnya, seperti yang dilakukan Andy Warhol, yang merusak tatanan
media seni tinggi dan seni rendah dengan memadukan keduanya, seperti
karya silkscreenya (serigrafi kala itu diangap media rakyat) pada sebuah
kanvas (yang biasa digunakan untuk melukis yang berkonotasi seni
tinggi).
Dikemudian hari, paham modernisme yang terdapat pada senirupa
mendapat resisitensi dari kekritisan pemikiran publik seni. pun
mengungkap bahwa terjadi kesalahan pada modernisme seni ini. Hal ini
juga dipengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat global yang memasuki
gerbang pemikiran filosofis yang dibawa postmodernisme. Bentuk
resistensi ini pun dikenal dengan postmodernisme seni yang membawa angin
segar dalam dunia seni rupa. Dengan bertambah lenturnya pemikiran
publik akan seni, penggunaan media pun menjadi amat tak terbatas bahkan
melampaui norma-norma etis. Post modernisme berusaha untuk meminjam
pemikiran masa lalu mengenai seni, menitilkberatkan pada meleburnya seni
dengan masyarakat dan tradisi. Seni diupayakan untuk kembali melebur
dengan keduanya. Diangkatnya kembali isu-isu sosial dalam karya seni
tentunya menambah kaya ruang lingkup batasan karya. Seni kembali
berfungsi sosial dan pribadi. Seniman kembali diperbolehkan untuk
menyisipkan muatan-muatan pribadi dalam karyanya. Selain itu, seni pun
dianggap dapat menjadi media yang digunakan untuk mengkritisi masalah
sosial yang kian rumit. Diangkatnya kembali hal-hal yang tidak general
(umum) dan berskala kecil dan remeh temeh pada karya seni pun tak
disia-siakan oleh para seniman untuk menuangkannya pada karya.
universalisme seni pun diporak-poranda kan oleh dihalalkannya
pengangkatan isu lokal pada karya seni , penanaman kearifan lokal pada
karya seni merupakan dampak dari diperbolehkannya pengkaryaan tradisi
yang tentu saja bersifat sangat lokal pada karya seni.
Seni pada masa post-modern kian cair dan semakin luas cakupannya,
menjajal sebuah babak baru dengan tawaran kebebasan dan kemerdekaan
berkarya secara menyeluruh, namun tetap saja, konsekuensi dari konsepsi
dasar postmodernisme, yakni kritisisme dan budaya filosofis, menuntut
riset yang kian dalam dan meyelurub dalam berkarya, sehingga karya seni
dewasa ini tidak terbatas pada pemasalahan visual dan estetis saja,
namun juga mengenai pertanggungjawaban gagasan yang dituangkan seniman
dalam karyanya. Bahakan tak jarang, pertanggungjawaban karya lebih
dipentingkan dan diutamakan. Terutama pada karya-karya seni konseptual
dan eksperimental, pertanggungjawaban karya adalah hal yang paling
ditamakan. Ini merupakan cerminan dari budaya filosofis dan kritis yang
tadi saya utarakan.
Meskipun banyak nilai positif yang bisa dipetik dari seni
postmodernisme, tetap timbul sebuah permasalahan yang cukup pelik ketika
eksistensi mengenai ruang lingkup postmodernisme itu sendiri. Ketika
paham ini mencoba untuk mengembalikan seni ke koridor masa lalu tapi
tetap membawa pengaruh-pengaruh modernisme yang amat bertentangan dengan
apa yang hendak dikembalikan. Meskipun begitu, banyak pula pemikir
mengemukakan bahwa postmodernisme memang berupaya, dan mungkin baru
sampai pada tahap ‘meminjam’ pemikiran-pemikiran masa lalu yag dianggap
lebih baik. Belum mampu atau bahkan mungkin tidak bisa mengembalikan
seni pada konespsi-konsepsi terdahulu. hal ini tercermin dari tetap
digalakannya pengeksklusifan seni dan adanya profesi seniman yang
notabene adalah produk modernisme. Ketika seni melebur dengan
masyarakat, profesi seniman pun melebur dengannya, seniman hanyalah
bagian dari masyarakat yang seyogyanya tidak menggembar-gemborkan
eksistensinya, dan kemudian berujung pada kepemilikan karya seni yang
seharusnya dimiliki publik, mengacu pada anonimisme karya seni pada
koridor masa lalu.
0 komentar:
Post a Comment