Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara
sadar menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan
objek-objek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis
diterjemahkan dari kata printmaking yang berasal dari bahsa inggris.
Seni grafis mencakup beberapa teknik yang terus berkembang seiring
perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Teknik grafis secara garis
besar dapat dikategorikan menjadi empat teknik utama, yakni, cetak
datar, cetak tinggi (relief), cetak saring (serigrafi), dan cetak dalam
(intaglio). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti
perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti
digital print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian
diterima sebagai karya grafis oleh medan sosial seni.
Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang
eksploratif yang dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah
pencapaian estetik tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan
sebuah karya seni (grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis
sang seniman dan ide yang ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek
tersebut kemudian menjadi lebur dan tertuang dalam sebuah karya grafis.
Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36 Pemandangan Gunung Fuji oleh
Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 – 1831, menggambarkan sebuah
karya grafis penuh yang sampai sekarang masih diperhitungkan
eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah adikarya
yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan teknis, juga
kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram
karya ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.
Karena kemampuannya dalam menduplikasi diri, karya-karya seni grafis
di dunia mampu menjangkau beberapa lapisan masyarakat. tidak melulu
terbatas pada kalangan elite. Meskipun penghargaan (sercara benar-benar
harafiah) oleh pasar pada karya-karya grafis tidak semahal lukisan atau
patung, karya grafis diharapkan mampu mencapai beberapa lapisan
masyarakat dan menjalankan beberapa fungsi seni, seperti seni sebagai
penyadaran, dll, sehingga eksistensi seni diharapkan mampu menunjukan
signifikasinya, degan konsekuensi yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Proses cetak yang menjadi prinsip utama dalam seni grafis ditujukan
untuk reduplikasi karya, dengan ‘itikad baik’ seperti yang telah diulas
pada paragraph sebeumnya, menghadirkan problematika dilematis yang cukup
signifikan dalam perkembangan karya-karya grafis. Yang kemudian dapat
dikelompokkan kepada dua masalah utama, yakni proses cetak yang amat
teknis dan mendatangkan banyak kerumitan di dalamnya, dan justifikasi
pasar pada karya seni grafis.
Teknik cetak grafis yang dikelompokkan dalam 4 proses cetak (cetak
datar, tinggi, dalam, dan saring) mememerlukan bantuan banyak alat dan
mesin, sehingga dalam proses pembuatannya, seniman dituntut untuk
memilki kemampuan teknis yang baik dan mendalam, atau uniknya meminta
bantuan pada pihak yang mendalami teknis grafis dengan konsisten. Secara
garis besar proses pembuatan karya grafis dibedakan menjadi dua, proses
pembuatan matriks dan proses pencetakkan karya, yang di dalamnya
terdapat rangkaian proses yang saling berkesinambungan bagaikan sebuah
untaian rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain seara
berkesinambungan. Karena kerumitannya, proses pembuatan karya grafis
dapat dinilai memrlukan effort lebih dibandingkan dengan membuat karya
lukisan, sehingga seringkali menyulitkan seniman untuk berkarya grafis.
Selain itu, karena jumlahnya yang banyak, dan tidak tunggal, eksistensi
karya grafis di pasar tidaklah sesignifikan karya lukisan yang sifatnya
tunggal yang kemudian membawa nilai eksklusifitas di dalamnya, karena
pasar dikuasai oleh kaum elite yang tentunya menggemari dan memburu
eksklusifitas, demi menjaga pestise dari karya itu sendiri. Para pelaku
pasar seringkali lupa bahwa pada praktiknya karya grafis memang
diperuntukkan untuk dimiliki oleh beberapa pihak, bukan dikoleksi secara
pribadi. Sehingga pasar sering meniai karya grafis sebagai ‘seni kelas
dua’. Kekurang-tertarikannya pasar pada karya seni grafis sedikit banyak
membuat eksistensi karya ini semakin lama semakin lemah, bahkan di
beberapa daerah yang iklim medan sosial seninya tidak sehat, hampir
tidak diperhitungkan lagi. Serangkaian masalah tadi kemudian mampu
dianggap sebagai masalah-masalah utama yang menyebabkan perkembangan
seni grafis yang lesu.
Di Indonesia, seni grafis bahkan mendapat perlakuan yang lebih tidak
kondusif lagi, selain amat sangat terbatasnya media-media pendukung
pembuatan karya seni grafis, pasar yang amat mendominasi medan sosial
seni, kerancuan penggunaan istilah grafis yang berdampak pada publikasi
teknik-teknik grafis konvensional yang membingungkan kerap kali makin
makin membuat seni grafis makin tidak dirasakan eksistensi dan
peranannya dalam seni rupa Indonesia. Penggunaan istilah grafis di
Indonesia dalam kesehariannya seringkali membingungkan. Karena kata
grafis di Indonesia seringkali berkaitan dengan objek-objek grafis yang
lekat dengan displin desain grafis, sehingga penggunaan istilah seni
grafis seringkali disalahartikan. Hal ini berkesan sepele, namun pada
perkembangannya, keancuan ini seringkali menjadi masalah yang kemudian
mendapatkan signifikasi yang cukup besar di kalangan awam.
SENI GRAFIS DI INDONESIA
Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia
berkat digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda,
pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi
landscape di Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian
dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk
cetak seperti wood engraving dan lithography. Karena memang pada masa
ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya
seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal
dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat
darinyalah seni grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada
rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari khazanah
akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing.
Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas
dua, dan seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam
aspek yang saling menagkumulasi satu sama lain. Seperti yang telah saya
ungkap seelumnya, seni grafis amatlah bergantung pada proses yang
bersifat amat teknis. Keterbatasan dan kelangkaan alat dan mesin
cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para seniman grafis yang dengan
terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau bahkan menggeluti
bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini memang
bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam
membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan
memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun
bahkan dialami oleh institusi akademi seni di Indonesia. Tercatat bahwa
hanya Institut Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan
alat-alat pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak
datar, dan cetak saring yang dianggap memadai, bahkan dengan catatan
bahwa sarana yang diberikan adalah standar ‘mahasiswa’, yang berkesan
seadanya dan kuran terawat. Minimnya mesin cetak yang tersedia di
Indonesia memang disebabkan oleh mahalnya biaya pengadaan mesin dan
kelangkaan akses dalam meraihnya. Bahkan beberapa alat dan bahan
pendukung pun seringkali harus didatangkan langsung dari Jerman, negri
dimana seni grafis lahir dan berkembang.
Problematika diatas pun didukung oleh pernyataan beberapa pihak yang
meneliti sejarah perkembangan seni grafis. Seni grafis dari awal
perkembangannya hanyalah dianggap sebagai pendamping karya-karya lukisan
dan patung, dan juga sebagai proses berkarya sampingan yang dilakukan
seniman yang seyogyanga mendalami cabang seni yang lebih ‘tulen’,
seperti seni lukis dan seni patung. Seni grafis pada awalnya sebatas
‘numpang’ muncul di pameran seni bersanding karya lukisan dan patung.
Meskipun demikian, seni grafis pernah dianggap sebagai cabagn seni yang
ikut berjasa bagi kehidupan kenegaraan Indonesia, dengan mengirim
karya-karya grafis ke luar negri pada peryaan tahun pertama kemerdekaan
Indonesia, 1946, sebagai upaya memeberi kesan bahwa Indonesia adalah
negara yang berbudaya, meski baru satu tahun merdeka. Perkembangan seni
grafis pada awal kemerdekaan Indonesia dinilai sebagai tenggat waktu
eksplorasi para seniman untuk mendalami dan menyerap ilmu mengani teknik
cetak grafis. Nampak pada beberapa karya grafis Mochtar Apin, Sudjana
Kerton, dan Poppo Iskandar yang menekuni studi visual menggunakan teknik
cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi yang merebak
luas di dunia
Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan
dengan hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran
‘Seni Grafis Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin,
Haryadi Suadi, A.D. Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga
kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya,
lahirlah kelompok grafis Decenta yang beranggotakan Pirous, Sunaryo,
Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi Kusnidar yang mendalami teknik
serigrafi yang kala itu sedang berkembang didukung laju perkembangan
industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini kemudianmulai menggeluti
desain grafis karena kecenderungan karya sablon yang mampu dicetak dan
direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat. beberapa darinya
seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian mengembangkan
akademi desain grafis di Indonesia.
Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk
postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan
dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak
terlepas seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya
dituangkan pada
media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti
lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan
mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian
besar karyanya merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan
pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba
memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi,
sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’,
Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan
Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan
corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding
dengan arus deras kritisisme postmodernisme.
Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang
didukung oleh laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga.
Teknologi-teknologi grafis mutakhir pun seperti c-print, digital print,
dll mulai dipertanyakan konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk
mengamini hal tersebut, namun banayak pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan
seni grafis konvensional lebih bernilai daripada seni grafis dengan
media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya reproduksi yang
ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga dianggap
makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun kalangan
postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya seni
tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu
mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.
Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat
pada perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog
Jogja-Bandung yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit
pada seni lukis, seni grafis pun mulai menampakkan kecenderungan karya
yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa
Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, kecenderungan mazhab kedua
kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan kaitan seni dengan
kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan modernism
pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua
kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru
Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI
Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian
berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai
dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan media
pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan
mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB,
dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia
melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi
teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar dan
kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya
untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi
media yang diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan
media pendukungnya, namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda
dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini kemudian tidak
dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya menggeluti cukil
kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai amat baik.
sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang sering
dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan teknik
cetak yang digunakan.
Seni grafis kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai
amat kaya, baik secara visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya.
proses berkarya grafis kemudian mempengaruhi kecenderungan berkarya para
senimannya kemudian melahirkan seniman yang memiliki pola kerja yang
teratur dan pemikiran yang terstruktur. Perkembangan seni grafis
kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang dengan baik,
eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang lazim
dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik.
Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi
seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan
kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya yang
menggunakan teknik cetak secara filosofis.
Dapat disimpulkan dari sedikit uraian diatas bahwa seni grafis
Indonesia bukanlah cabang seni yang murahan, pinggiran, dan kelas dua,
namun dapat dipandang sebagai cabang seni yang melahirkan seniman yang
memiliki kekhasan baik dalam pemikiran maupun kekaryaanya. Mampu
menunujukan eksistensinya dalam memperkarya seni rupa Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment