Thursday, 17 January 2013

Pendidikan Berbasis Kultur

Pendidikan indonesia terus mencari bentuk baru guna mensinergikan dengan tuntutan zaman. Tak ayal muncul berbagai formulasi kurikulum setiap periodenya. Tercatat kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami delapan kali reformulasi. Pasca kemerdekaan kurikulum pertama yang diterapkan adalah Rencana Pelajaran 1947. Kemudian Rencana Pelajaran Terurai tahun 1952, Kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum CBSA 1984, Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999, Kurikulum berbasis kompetensi, dan Kurikulum tingkat satuan pelajaran 2006.

Reformulasi kurikulum ini dinilai banyak pihak sarat akan nuansa politis, meskipun dengan dalih memajukan pendidikan Indonesia.Dalih yang kerap kali digunakan adalah perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Sayangnya dari sekian banyak perubahan kurikulum tersebut aspek sosio-kultur kurang mendapat perhatian. Selama ini kurikulum lebih bersifat equality (pukul rata) di seluruh lembaga pendidikan di pelbagai penjuru Indonesia. Artinya, kurikulum sekolah-sekolah di perkotaan, disamakan dengan dengan kurikulum sekolah di pedesaan, kurikulum sekolah di Jakarta sama dengan kurikulum di daerah pedalaman Kalimantan. Padahal sudah barang tentu kebutuhan masing-masing berbeda, dan itulah yang seharusnya dijawab oleh pendidikan.

Orientasi pendidikan yang utama adalah menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Nampak jelas titik point orientasi pendidikan di atas, adalah mengembangkan potensi individu untuk memenuhi kebutuhan diri, masyarakat, bangsa dan Negara.  Equality kurikulum pendidikan menjadikan pendidikan absurd, tidak membekas dibenak peserta didik karena terlalu utopis alias tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh ironis melihat kondisi real pendidikan seperti ini.

Pendidikan Berbasis Kultur

Pendidikan harus selalu  berdialekita dengan keadaan sosio-kultur. Tanpa demikian, pendidikan menjadi alat untuk mencerabut masyarakat dari kultur yang selama ini diwarisinya. Paulo freire (1976;214) menegaskan, pendidikan seperti ini melanggengkan status quo penindasan dan kebodohan. Padahal, menurutnya, pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami masyarakat.

Firdaus M. Yunus (2004) mengatakan pendidikan harus mampu menjawab dan bertanggung jawab setiap masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar pendidikan memiliki basis sosio-kultur dan tidak absurd. Artinya, pendidikan dimanapun dan kapanpun tidak akan pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan diselenggarakan.

Apalagi saat ini sudah diberlakukan otonomi daerah, yang di dalamnya juga mencakup bidang pendidikan. Tentu aspek pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar bersinergi dengan kebutuhan dasar masyarakat. Singkatnya , meminjam paparan Barnadib (1996), sejumlah perangkat pendidikan  (kurikulum) perlu diperuntukkan sesuai dengan kebutuhan sosio-kultur masyarakat.

Pendidikan berbasis kultur pun menyeruak untuk menjawab tuntutan pendidikan di atas. Pendidikan semacam ini mensyaratkan orientasi utama dari urgensi pendidikan adalah menjawab kebutuhan masyarakat tempat pendidikan diselenggarakan. Pendidikan di perkotaan harus berbeda dengan pendidikan di pedesaan.

Potensi alam indonesia sangat kaya raya dan melimpah ruah namun mengapa rakyat pribumi kurang mampu mengelolanya. Contoh kecil Freeport di Papua, Exon Mobile di Cepu, namun justru bangsa asing-lah yang menikmati kekayaan ini. Ketika ditelisik lebih dalam, akar muaranya adalah pendidikan kurang menyentuh aspek lingkungan sekitar (sosio-kultur).

Pendidikan hanya menyuguhkan materi-materi yang kurang relevan ketika diaplikasikan bagi kehidupan steakholders. Walhasil, pendidikan pun menjadi bias dan tak berbekas. Semestinya Indonesia mampu menghidupi Negara dari sumber daya alam, bahkan menjadi Negara pengekspor komoditas terbesar. Namun fakta berkata sebaliknya, indonesia malah aktif mengimpor dan menjadi Negara terbesar pengekspor TKI.

Seharusnya potensi alam inilah yang harus dijawab melalui pendidikan penduduk sekitar. Sehingga manfaat pendidikan bagi kehidupan pun nyata. Pun dengan masyarakat agraris, pendidikan harus mampu mengakomodir pertanian, misal dengan menciptakan bibit unggul ataupun menemukan terobosan baru lainnya. Begitulah seterusnya, masyarakat maritim, perindustrian, harus dioptimalkan potensinya secara inovatif melalui lokus pendidikan.

Dengan demikian terwujud fungsi masing-masing Individu di Indonesia. Satu sama lain saling membutuhkan dan menguntungkan (mutual). Potensi yang dimiliki setiap kultur pun dapat dimanfaatkan secara optimal dan fungsional. Walhasil pendidikan pun memperoleh porsi aslinya sebagai wahana pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai yang termaktub di UU. Semoga!!!

Ditulis Oleh : Unknown // 21:29
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment

 
Aji Nur Kamil. Powered by Blogger.