Pendidikan indonesia terus mencari bentuk baru guna mensinergikan dengan
tuntutan zaman. Tak ayal muncul berbagai formulasi kurikulum setiap
periodenya. Tercatat kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami
delapan kali reformulasi. Pasca kemerdekaan kurikulum pertama yang
diterapkan adalah Rencana Pelajaran 1947. Kemudian Rencana Pelajaran
Terurai tahun 1952, Kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum CBSA 1984,
Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999, Kurikulum berbasis
kompetensi, dan Kurikulum tingkat satuan pelajaran 2006.
Reformulasi
kurikulum ini dinilai banyak pihak sarat akan nuansa politis, meskipun
dengan dalih memajukan pendidikan Indonesia.Dalih yang kerap kali
digunakan adalah perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek
dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai
seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Sayangnya
dari sekian banyak perubahan kurikulum tersebut aspek sosio-kultur
kurang mendapat perhatian. Selama ini kurikulum lebih bersifat equality
(pukul rata) di seluruh lembaga pendidikan di pelbagai penjuru
Indonesia. Artinya, kurikulum sekolah-sekolah di perkotaan, disamakan
dengan dengan kurikulum sekolah di pedesaan, kurikulum sekolah di
Jakarta sama dengan kurikulum di daerah pedalaman Kalimantan. Padahal
sudah barang tentu kebutuhan masing-masing berbeda, dan itulah yang
seharusnya dijawab oleh pendidikan.
Orientasi pendidikan yang
utama adalah menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagaimana termaktub dalam
UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Nampak jelas titik point orientasi pendidikan di
atas, adalah mengembangkan potensi individu untuk memenuhi kebutuhan
diri, masyarakat, bangsa dan Negara. Equality kurikulum pendidikan
menjadikan pendidikan absurd, tidak membekas dibenak peserta didik
karena terlalu utopis alias tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Sungguh ironis melihat kondisi real pendidikan seperti ini.
Pendidikan Berbasis Kultur
Pendidikan
harus selalu berdialekita dengan keadaan sosio-kultur. Tanpa demikian,
pendidikan menjadi alat untuk mencerabut masyarakat dari kultur yang
selama ini diwarisinya. Paulo freire (1976;214) menegaskan, pendidikan
seperti ini melanggengkan status quo penindasan dan kebodohan. Padahal,
menurutnya, pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan manusia
dari segala bentuk penindasan dan ketertindasan yang dialami
masyarakat.
Firdaus M. Yunus (2004) mengatakan pendidikan harus
mampu menjawab dan bertanggung jawab setiap masalah dan memenuhi
kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar pendidikan memiliki
basis sosio-kultur dan tidak absurd. Artinya, pendidikan dimanapun dan
kapanpun tidak akan pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara
dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan
diselenggarakan.
Apalagi saat ini sudah diberlakukan otonomi
daerah, yang di dalamnya juga mencakup bidang pendidikan. Tentu aspek
pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar bersinergi dengan kebutuhan
dasar masyarakat. Singkatnya , meminjam paparan Barnadib (1996),
sejumlah perangkat pendidikan (kurikulum) perlu diperuntukkan sesuai
dengan kebutuhan sosio-kultur masyarakat.
Pendidikan berbasis
kultur pun menyeruak untuk menjawab tuntutan pendidikan di atas.
Pendidikan semacam ini mensyaratkan orientasi utama dari urgensi
pendidikan adalah menjawab kebutuhan masyarakat tempat pendidikan
diselenggarakan. Pendidikan di perkotaan harus berbeda dengan pendidikan
di pedesaan.
Potensi alam indonesia sangat kaya raya dan
melimpah ruah namun mengapa rakyat pribumi kurang mampu mengelolanya.
Contoh kecil Freeport di Papua, Exon Mobile di Cepu, namun justru bangsa
asing-lah yang menikmati kekayaan ini. Ketika ditelisik lebih dalam,
akar muaranya adalah pendidikan kurang menyentuh aspek lingkungan
sekitar (sosio-kultur).
Pendidikan hanya menyuguhkan materi-materi yang kurang relevan ketika diaplikasikan bagi kehidupan steakholders.
Walhasil, pendidikan pun menjadi bias dan tak berbekas. Semestinya
Indonesia mampu menghidupi Negara dari sumber daya alam, bahkan menjadi
Negara pengekspor komoditas terbesar. Namun fakta berkata sebaliknya,
indonesia malah aktif mengimpor dan menjadi Negara terbesar pengekspor
TKI.
Seharusnya potensi alam inilah yang harus dijawab melalui
pendidikan penduduk sekitar. Sehingga manfaat pendidikan bagi kehidupan
pun nyata. Pun dengan masyarakat agraris, pendidikan harus mampu
mengakomodir pertanian, misal dengan menciptakan bibit unggul ataupun
menemukan terobosan baru lainnya. Begitulah seterusnya, masyarakat
maritim, perindustrian, harus dioptimalkan potensinya secara inovatif
melalui lokus pendidikan.
Dengan demikian terwujud fungsi
masing-masing Individu di Indonesia. Satu sama lain saling membutuhkan
dan menguntungkan (mutual). Potensi yang dimiliki setiap kultur pun
dapat dimanfaatkan secara optimal dan fungsional. Walhasil pendidikan
pun memperoleh porsi aslinya sebagai wahana pemenuhan kebutuhan
masyarakat sesuai yang termaktub di UU. Semoga!!!
Home » Umum » Pendidikan Berbasis Kultur
Thursday, 17 January 2013
Pendidikan Berbasis Kultur
lainnya dari Umum
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment