Masih
ditemukan guru kita yang terjangkit penyakit di awal tahun ajaran baru
ini, seperti tipus (tidak punya selera), asma (asal masuk kelas), asam
urat (asal sampaikan materi urutan kurang akurat), diare (di kelas anak
diremehkan), hipertensi (hiruk persoalan tentang sertifikasi), dan
lain-lain. Berderet penyakit kronis yang meniscayakan pendidikan kita
akan terjerumus dalam lubang kegagalan ini harus segera diobati apabila
tidak menginginkan pendidikan kita kian bertambah meringsek. UU No 14
tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) telah dilantunkan pemerintah
sebagai alternatif supaya para pengajar lebih kompeten. Guru diharapkan
mampu mengelola pembelajaran, meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta
pengembangan peserta didik untuk mengkualifikasikan berbagai potensi
yang dimiliki.
Pada
kenyataannya, program pemerintah atas guru dan dosen tersebut masih
jauh dari asa. Sebagaimana diberitakan Kemendiknas, hingga Juli 2011
diperkirakan ada lima ratus ribu guru per hari malas mengajar. Terlepas
dari keakuratan data, sesungguhnya ini merupakan cermin buram wajah
pendidikan kita. Bukan kecil angka tersebut. Sebab, lima ratus ribu itu
sama dengan jumlah guru yang ada di Malaysia dan Thailand.
Tidak
sedikit guru menanggapi secara praktis adanya sertifikasi guru, yakni
sekadar mendapatkan tunjangan lebih. Guru rela meninggalkan tugas utama
(mengajar) demi mengikuti aneka workshop. Bukan rahasia umum manakala
guru malah tertidur atau ngobrol di saat pelatihan berlangsung, lantas
menjinjing sertifikat ketika acara usai. Lebih parah lagi, sebagian
teman seprofesi justru melakukan kecurangan dengan jalan meminjam
sertifikat teman untuk difoto kopi. Tentunya, setelah mengganti nama
yang tertera.
Penyelenggaraan
pelatihan jadi muspro. Seperti sediakala, guru mengajar sekenanya, asal
menyampaikan materi. Tidak ditemukan variasi dalam penggunaan metode
pembelajaran. Ceramah, termasuk metode andalan. Pada takaran ini, siswa
dianggap tidak tahu apa-apa, sementara guru maha kuasa. Siswa ibarat
tong sampah yang siap menerima segala yang keluar dari guru.
Perlu diketahui bahwa pembelajaran bukan seperti sedang menonton
pertunjukan film; siswa tidak sekadar duduk di kelas untuk mendengarkan
penjelasan guru, menghafal paket materi, lantas menjawab pertanyaan
guru. Pembelajaran adalah proses pendewasaan dengan cara mengasah dua
sisi terpenting siswa: kognitif dan afektif. Siswa harusnya berbicara
tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya, mengaitkan
dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa menjadikan apa yang dipelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Oleh
sebab itu, siapa memilih profesi guru, seyogyanya bisa terbuka dan mau
membuka wawasan siswa. Setidaknya guru mengenali potensi peserta
didiknya. Menurut Howard Gandner, kecerdasan siswa yang wajib mendapat
perhatian guru, antara lain: linguistik, logis matematis, spasial
visual, musik, interpersonal, intrapersonal, kinestetis, dan naturalis.
Guru
juga disarankan mengetahui tipe belajar siswa yang tentunya berbeda
antara satu dengan lainnya: ada visual, auditif, dan kinestetik.
Kecenderungan belajar siswa ini penting dimengerti agar metode
pembelajaran yang diterapkan bisa tepat, sehingga materi pelajaran mudah
diserap. Adapun cara menentukan tipe belajar apa yang ada di
masing-masing siswa maka memerlukan eksperimen, pengamatan, dan
penelitian mendalam oleh guru.
Secara
sederhana, guru ideal akan menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan
mengajar dan kegiatan belajar mengajar, di samping juga mempertimbangkan
berbagai cara menyampaikan isi pelajaran kepada siswa. Guru tidak hanya
terpaku pada satu atau dua metode mengajar tanpa mempertimbangkan
kesesuaiannya dengan materi pelajaran serta potensi siswa. Dalam
menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik maka guru akan
mencoba menyelingi dengan humor sampai akhirnya semua siswa merasakan
jikalau materi yang diberikan guru itu mudah.
Inilah
sesungguhnya yang diperlukan dalam suatu proses pembelajaran. Metode
pembelajaran yang baik seharusnya selaras dengan tujuan kurikulum.
Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa
setiap pembelajaran harusnya dapat mengembangkan potensi peserta didik
secara holistik. Bukan hanya mengembangkan aspek kognitif atau akademik
saja, tetapi juga harus mampu membentuk manusia utuh (whole person)
yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan, serta mempunyai
kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole).
“Betapa
cantiknya sebuah proses belajar dalam sebuah kelas apabila guru
memandang semua siswanya pandai dan cerdas dan para siswanya merasakan
semua pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik. Kelas tersebut akan
hidup. Keluar dari kelas tersebut, semua siswa mendapat pengalaman
pertama yang luar biasa dan tak akan pernah lupa seumur hidup. Apabila
kelas seperti itu terjadi pada jutaan kelas di sekolah-sekolah di
Indonesia , pasti negara ini akan menjadi negara maju yang
diperhitungkan oleh dunia,” kata Munif Chatib, seorang praktisi
pendidikan.
Kiranya,
menjadi kebutuhan setiap guru untuk selalu berusaha memahami beberapa
penyakit guru sebagaimana di atas yang bisa datang sewaktu-waktu. Banyak
membaca buku sebagai inspirasi untuk dapat menyembuhkan berbagai
penyakit kronis. Hingga pada akhirnya, jalannya proses pencapaian tujuan
pendidikan tidak terganggu. Selamat mencoba menjadi guru yang disenangi
siswa!
0 komentar:
Post a Comment