Thursday, 17 January 2013

Waspada Penyakit Guru

Masih ditemukan guru kita yang terjangkit penyakit di awal tahun ajaran baru ini, seperti tipus (tidak punya selera), asma (asal masuk kelas), asam urat (asal sampaikan materi urutan kurang akurat), diare (di kelas anak diremehkan), hipertensi (hiruk persoalan tentang sertifikasi), dan lain-lain. Berderet penyakit kronis yang meniscayakan pendidikan kita akan terjerumus dalam lubang kegagalan ini harus segera diobati apabila tidak menginginkan pendidikan kita kian bertambah meringsek. UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) telah dilantunkan pemerintah sebagai alternatif supaya para pengajar lebih kompeten. Guru diharapkan mampu mengelola pembelajaran, meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengkualifikasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Pada kenyataannya, program pemerintah atas guru dan dosen tersebut masih jauh dari asa. Sebagaimana diberitakan Kemendiknas, hingga Juli 2011 diperkirakan ada lima ratus ribu guru per hari malas mengajar. Terlepas dari keakuratan data, sesungguhnya ini merupakan cermin buram wajah pendidikan kita. Bukan kecil angka tersebut. Sebab, lima ratus ribu itu sama dengan jumlah guru yang ada di Malaysia dan Thailand.
Tidak sedikit guru menanggapi secara praktis adanya sertifikasi guru, yakni sekadar mendapatkan tunjangan lebih. Guru rela meninggalkan tugas utama (mengajar) demi mengikuti aneka workshop. Bukan rahasia umum manakala guru malah tertidur atau ngobrol di saat pelatihan berlangsung, lantas menjinjing sertifikat ketika acara usai. Lebih parah lagi, sebagian teman seprofesi justru melakukan kecurangan dengan jalan meminjam sertifikat teman untuk difoto kopi. Tentunya, setelah mengganti nama yang tertera.
Penyelenggaraan pelatihan jadi muspro. Seperti sediakala, guru mengajar sekenanya, asal menyampaikan materi. Tidak ditemukan variasi dalam penggunaan metode pembelajaran. Ceramah, termasuk metode andalan. Pada takaran ini, siswa dianggap tidak tahu apa-apa, sementara guru maha kuasa. Siswa ibarat tong sampah yang siap menerima segala yang keluar dari guru.
Perlu diketahui bahwa pembelajaran bukan seperti sedang  menonton pertunjukan film; siswa tidak sekadar duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi, lantas menjawab pertanyaan guru. Pembelajaran adalah proses pendewasaan dengan cara mengasah dua sisi terpenting siswa: kognitif dan afektif. Siswa harusnya berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam  kehidupan sehari-hari. Siswa menjadikan apa yang dipelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, siapa memilih profesi guru, seyogyanya bisa terbuka dan mau membuka wawasan siswa. Setidaknya guru mengenali potensi peserta didiknya. Menurut Howard Gandner, kecerdasan siswa yang wajib mendapat perhatian guru, antara lain: linguistik, logis matematis, spasial visual, musik, interpersonal, intrapersonal, kinestetis, dan naturalis.
Guru juga disarankan mengetahui tipe belajar siswa yang tentunya berbeda antara satu dengan lainnya: ada visual, auditif, dan kinestetik. Kecenderungan belajar siswa ini penting dimengerti agar metode pembelajaran yang diterapkan bisa tepat, sehingga materi pelajaran mudah diserap. Adapun cara menentukan tipe belajar apa yang ada di masing-masing siswa maka memerlukan eksperimen, pengamatan, dan penelitian mendalam oleh guru.
Secara sederhana, guru ideal akan menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan mengajar dan kegiatan belajar mengajar, di samping juga mempertimbangkan berbagai cara menyampaikan isi pelajaran kepada siswa. Guru tidak hanya terpaku pada satu atau dua metode mengajar tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan materi pelajaran serta potensi siswa. Dalam menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik maka guru akan mencoba menyelingi dengan humor sampai akhirnya semua siswa merasakan jikalau materi yang diberikan guru itu mudah.
Inilah sesungguhnya yang diperlukan dalam suatu proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang baik seharusnya selaras dengan tujuan kurikulum. Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa setiap pembelajaran harusnya dapat mengembangkan potensi peserta didik secara holistik. Bukan hanya mengembangkan aspek kognitif atau akademik saja, tetapi juga harus mampu membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole).
“Betapa cantiknya sebuah proses belajar dalam sebuah kelas apabila guru memandang semua siswanya pandai dan cerdas dan para siswanya merasakan semua pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik. Kelas tersebut akan hidup. Keluar dari kelas tersebut, semua siswa mendapat pengalaman pertama yang luar biasa dan tak akan pernah lupa seumur hidup. Apabila kelas seperti itu terjadi pada jutaan kelas di sekolah-sekolah di Indonesia , pasti negara ini akan menjadi negara maju yang diperhitungkan oleh dunia,” kata Munif Chatib, seorang praktisi pendidikan.
Kiranya, menjadi kebutuhan setiap guru untuk selalu berusaha memahami beberapa penyakit guru sebagaimana di atas yang bisa datang sewaktu-waktu. Banyak membaca buku sebagai inspirasi untuk dapat menyembuhkan berbagai penyakit kronis. Hingga pada akhirnya, jalannya proses pencapaian tujuan pendidikan tidak terganggu. Selamat mencoba menjadi guru yang disenangi siswa!

Ditulis Oleh : Unknown // 17:33
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment

 
Aji Nur Kamil. Powered by Blogger.