A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan
di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain
dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan,
bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and
Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada
pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki
urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut
survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia
pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki
abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa
Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah
dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang
adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan
formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi
penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber
daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas
bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber
daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia
yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari
146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP).
Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP)
dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi
masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus
dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang
tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “
Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
BAB II PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di
Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di
Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah
pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa
Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah
dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan
agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah
agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat
mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat
kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan
berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian
besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi
melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai
masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui,
kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti
dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru
tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada
siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang
menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan
dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya
menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki
pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi
masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama
lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut
menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama
bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah
terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang
menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa
pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung
jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman,
Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa
langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
- Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
- Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
- Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
- Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
- Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
- Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
- Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah
suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar
dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di
Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan
penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak
adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu
“goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang
jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah
terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana
mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat
beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas
saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah
telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap
hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan
efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk
dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah
menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan
dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas
pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang
mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal
sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah
gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas
pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana
menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih
‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses
yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat
pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya
bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi
pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang
digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang
menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih
baik.
Masalah mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya
harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita
bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost
education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup
mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat
Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang
biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah,
training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang
dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti
buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat
sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri,
memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun
peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks
pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami
survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang
mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta
didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan
survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di
Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam
pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul
16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi,
peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan
banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya.
Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak
efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan
informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain
efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar.
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang
mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan
tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu
pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada
kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di
bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan
kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat
kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik
tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga
mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga
berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia.
Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga
membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan
ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004,
kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi
proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti
kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar
harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya
pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti
kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan
kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta
jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan
hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil
mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi
sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis.
Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran
secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara
efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah
diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu
dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep
efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian
tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia
pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung
ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber
pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang
efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi
pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk
menentukan standar yang akan diambil. Dunia pendidikan terus berudah.
Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi
di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere
globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang
ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal
terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi,
demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP). Tinjauan terhadap standardisasi dan
kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami
dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan
adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga
kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia
terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan
saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat
digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi
nilai di atas standar saja. Hal seperti ini sangat disayangkan karena
berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun
standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika
kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia
sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi
kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN
sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti
pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang
dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama
beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu
hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi
lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang
sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di
Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih
banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi. Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas
yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita
menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan
di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula
secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya,
banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang
tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung
25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang
kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581
atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka
kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK
meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga
amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39
UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian
masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru
menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan
28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk
SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu,
dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503
guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat
pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2
ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar
yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan
guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan
serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per
bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di
sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti
itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU
itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada
gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan
lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab
bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan
guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan
pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf
ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen
dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35
dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari
44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita
jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang
terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report
2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional,
menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional
Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur
menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata
hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit
sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.
Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan
soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The
Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999
(IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi
siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34
untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4
universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61,
ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen
Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD
pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP
masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan
pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam
usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan
sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi
oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar
36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya
sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup
sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu
itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat
ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang
memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta
sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki
akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk
dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya
status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki
konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak
jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya
biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin
melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang
luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya
merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan
Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan
pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1)
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan,
sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional
pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti
Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja
akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk
menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan
agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu,
beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu
itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di
Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya,
banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang
tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis.
Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin
berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni
solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan
sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada.
Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam
atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme
saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang
menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni
solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga
diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan
kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan
alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
- http://forum.detik.com.
- http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
- http://www.detiknews.com.
- http://www.sib-bangkok.org.
- Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
- sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
- http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/
- http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/09/masalah-pendidikan-di-indonesia.
0 komentar:
Post a Comment