Oleh: Fariha Ilyas
PENDAHULUAN
Pada salah satu puncak
perenungannya, Plato mengemukakan tesisnya: "Art should be the basic of
education". Seni seharusnya menjadi dasar pendidikan, ujarnya. Gema dan
relevansi pernyataan ini masih sterasa sampai saat ini, khususnya dalam
pelaksanaan pendidikan seni di sekolah umum. Dalam perspektif
pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk
memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas,
rasionalitas dengan irrasionalitas, dan akal pikiran dengan kepekaan
emosi, agar manusia 'memanusia'. Bahkan, dalam batas-batas tertentu,
menjadi sarana untuk mempertajam moral dan watak.
Dalam konteks ini, seni tidak
ditempatkan dalam “perspektif kesenian". Artinya, seni tidak dipandang
demi kesenian itu sendiri, yang walaupun dalam pelestarian atau
pengembangannya eksplisit maupun implisit terjadi juga suatu proses
pendidikan. Seni dalam konteks pembicaraan ini, secara konseptual dan
empirikal, ditempatkan sebagai sarana dalam pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan. Walaupun pembahasan di antara kedua perspektif
tersebut tidak selalu dapat dipisahkan dengan tegas, tetapi karena
konsekuensi paradigmatisnya yang berimplikasi pada penentuan sudut,
cara, dan bagaimana mengkaji permasalahannya, maka tulisan ini lebih
difokuskan pada pembicaraan seni dalam "perspektif pendidikan".
Pernyataan seni sebagai sarana
pendidikan mengacu pada pengertian seni dipandang sebagai materi, alat
atau media, dan metode, yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan. Dalam pengertian inilah pendidikan seni (mencakup seni rupa,
seni tari, seni musik, dan seni drama) dilaksanakan atau ditetapkan
sebagai mata ajaran di sekolah - sekolah umum.
Betolak dari pemikiran ini
tulisan dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan pendidikan seni pada
khususnya, dan pendidikan pada umumnya, dan kaitan di antara keduanya.
Kajian, secara singkat, akan diarahkan pada masalah-masalah konseptual
dalam pendidikan seni, dan fenomena-fenomena empirikal yang telah dan
sedang kita hadapi saat ini.
GAGASAN
Hakikat Pendidikan
Pendidikan menurut Carter V.
Good (Dalam Djumransyah, 2006: 24) adalah Proses perlembangan kecakapan
seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam
masyarakatnya. Sedangkan menurut Godfrey Thompson bahawa pendidikan
merupakan pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang tetap di dalam kebiasaan tingkah lakunya,
pikirannya dan sikapnya.
John Stuart Mill (Dalam
Abubakar,1982: 8) menyatakan bahwa Pendidikan itu meliputi segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang
dikerjakan orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada
tingkat kesempurnaan.
Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah segala upaya manusia untuk
meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi nurani),
dan jasmani (Pancaindera serta keterampilan-keterampilan).
Dengan merujuk kembali kepada
makna dan hakikat pendidikan diharapakan kita akan mencoba
menimbang-nimbang kembali apa yang telah kita alami dan lakukan dalam
proses pendidikan selama ini. Dengan demikian kita dapat meluruskan
kembali pola pikir dan konsep-konsep pendidikan agar sesuai dengan
tujuan dasarnya namun tetap dinamis mengikuti kebutuhan masyarakat.
Seni dan Pendidikan Seni
Pendidikan ditinjau dari
tujuannya adalah mengembangkan potensi jasmani, akal dan rohani manusia.
Ketiga potensi bawaan manusia ini harus diasah dan dikembangkan secara
seimbang dan proporsional. Jika salah satu diantaranya tidak tersentuh
atau dikembangkan dengan baik maka tujuan pendidikan yang bertujuan
membetuk manusia seutuhnya akan sulit terwujud. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut maka pembicaraan tentang pendidikan seni sebagai sebuah
usaha dalam mengasah potensi-potensi dasar manusia telah melewati masa
yang cukup panjang.
Pembicaraan seni sebagai sarana
pendidikan, dengan mencoba memperluas interpretasi terhadap tesis Plato
(seperti yang dikemukakan di atas), setidak-tidaknya mengacu ke dua
arah; yang pertama sebagai materi, alat dan media, serta metode yang
terangkum dalam mata ajaran yang disebut pendidikan seni. Yang kedua,
sebagai metode dalam rangka “menyenikan” pendidikan yang rasionalistik
yang melekat sangat kuat pada mata ajaran lain.
Yang pertama meletakkan
pendidikan seni sebagai mata ajaran dalam kurikulum pendidikan umum,
yang mempunyai fungsi sama dengan mata ajaran lainnya. Secara sistemik
pendidikan seni merupakan bagian integral dari sistem pendidikan umum,
yang fungsional untuk menjaga keseimbangan sistem dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Pendidikan seni, sebagai pendidikan estetik, dalam
hal ini memberi imbangan terhadap pendidikan yang bersifat
logis-rasional, dan pendidikan etis-moral.
Yang kedua, seni menawarkan
cara-cara yang bebas dalam pelaksanaan pendidikan (mata ajaran lain)
dari wacana kekuasaan kepastian. Seni menawarkan bahwa senantiasa ada
cara memandang yang multiperspektif, tidak ada disiplin yang secara
keseluruhan lengkap, serta tidak ada sesuatu yang mempunyai "kata
akhir". Seni mengajarkan hal ini dengan baik, seperti sebagaimana ia
menawarkan
dimensi-dimensi makna
yang baru, bentuk-bentuk baru dari logika yang selama ini dinina-bobokan
oleh pendidikan modern. Seni menantang apa yang disebut "prinsip umum
penalaran".
Seni memberikan suatu
epistemologi pilihan lain, suatu cara mengetahui yang mentransenden
bentuk-bentuk pengetahuan yang deklaratif. Dengan seni, sebagai metode,
seseorang didorong untuk melihat dan mendengar, menerobos lapisan
permukaan apa yang terlihat dan terdengar. Dengan seni kita disadarkan
dari penampilan satu-dimensi kehidupan, yang tanpa terasa dipaksakan,
oleh pemikiran yang menjadi mainstream saat ini.
Seni dapat memerangi
problematika yang dihadapi dengan menciptakan konsep-konsep baru,
sudut-sudut baru untuk memandang dunia dan berbagai segi kehidupan
manusia. Dalam cara ini seni, melalui penafsir-penafsirnya, melahirkan
makna-makna baru. Melahirkan dimensi baru dalam memandang berbagai
peristiwa.
Seni, sebagai metode,
dilaksanakan untuk mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan. Guru, tentu saja,
tidak semata-mata mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan berpikir yang
sudah melekat pada diri siswa-siswanya. melainkan menciptakan situasi
agar pengalaman siswa-siswanya dapat digunakan untuk merombak kebiasaan
pemikiran-pemikiran yang beku. Perhatian yang lebih artistik, perlu
diberikan untuk memberi imbangan pada para pelaksana pendidikan (yang
bertumpu pada pandangan mainstream pendidikan) yang cenderung untuk
memfungsikan peranan model pengajaran yang ketat dan kaku. Guru dan
siswa secara bersama-sama seyogianya mencari cara yang lebih
menyenangkan untuk membangun kembali pranata-pranata pengajaran.
Keyakinan bahwa seni dapat
dipakai sebagai metode bertumpu pada kenyataan bahwa seni mampu
meningkatkan bentuk pengajaran yang mempersyaratkan interpretasi, suatu
bentuk pemikiran yang mencari pengalaman baru yang memberi peluang pada
interpretasi. Interpretasi semacam ini akan membantu mengungkap kekuatan
yang menindas "ruang kebebasan, yang dalam beberapa saat mungkin
hadir".
Seni dan Multi Intelegensi
Pada dasarnya setiap orang
memiliki potensi kecerdasan, seperti kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan
adveritas atau berketahanan hidup (AQ). Kecerdasan emosional adalah
kemampuan individu untuk mengenali emosi diri sendiri dan emosi orang
lain, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam
hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan spiritual merupakan kecakapan
untuk melaksanakan kegiatan yang didasari oleh perilaku ketaqwan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan norma yang berlaku di masyarakat, termasuk
kepatuhan kepada peraturan sekolah. Namun demikian suatu kecerdasan yang
matang barangkali hanya bisa diwujudkan dengan cara mengimbangkan
(equilibrium) kekuatan-kekuatan jiwa manusia pada kemampuan
mengoptimalkan fungsi otak belahan kiri dan otak belahan kanan.
Menurut para pakar psikologi
otak belahan kiri merupakan sumber kecerdasan intelektual (IQ) sebagai
wilayah persemaian dan pengembangan potensi akal-penalaran yang bersifat
analitis¬logik dan detail, sedangkan otak belahan kanan adalah sumber
kecerdasan emosional (EQ) sebagai wilayah persemaian dan pengembangan
segala potensi yang berkaitan dengan rasa-perasaan (emosi-kreatif) yang
bersifat menyeluruh. Otak kiri bertanggung jawab terhadap kemampuan
verbal dan matematik, seperti berbicara, membaca, menulis, dan
berhitung. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sistematis, dan
analitis sehingga termasuk short term memory (memori jangka pendek).
Akal sebagai bagian penting dari jiwa manusia berfungsi untuk menemukan
kebenaran dan kesalahan. Dengan akal manusia mampu mengarahkan seluruh
aktivitas jasmani dan kejiwaannya guna menggapai kehidupan yang relatif
lebih sejahtera. Sebaliknya, otak kanan berurusan dengan emosi, irama,
musik, imajinasi, warna, gambar, dan diagram. Cara berpikir otak kanan
bersifat kreatif, tidak teratur, dan menyeluruh sehingga tergolong long
term memory (memori jangka panjang). Emosi merupakan kekuatan penggerak
kehidupan yang paling konkret dalam diri manusia karena terbentuk dari
segenap keinginan dan selera yang erat hubungannya dengan fungsi¬-fungsi
jasmaniah, seperti melakukan apa yang baik dan buruk, mengikuti apa
yang etis dan norak, serta yang indah dan jelek. Kekuatan emosi terasa
tampak ketika mampu menjalankan berbagai alternatif gagasan yang telah
diputuskan oleh akal. Sebagai bukti bahwa daya ingat otak kanan lebih
panjang dari otak kiri yaitu ketika kita bertemu dengan teman lama.
Barangkali kita masih ingat
wajahnya tetapi lupa namanya. Fenomena ini terjadi karena gambar wajah
diproses oleh otak kanan dengan memori jangka panjang, sedangkan nama
(kata-kata) diproses oleh otak kiri yang jangka memorinya pendek.
Uraian multikecerdasan di atas,
mengindikasikan bahwa pendidikan seni dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan berbagai potensi pada otak kanan, dan sekaligus berfungsi
untuk mengimbangkan kerja otak kiri. Dalam pembelajaran pendidikan seni,
meskipun wilayah rasa ¬emosi relatif dominan tetapi tidak berarti
menafikan wilayah intelektual, jelas tidak dapat digantikan oleh mata
pelajaran yang lain sehingga sangat penting dan mendasar bagi dunia
pendidikan umumnya. Kedudukan rasa-emosi bukan saja penting dalam
kehidupan, melainkan juga menjadi sumber daya yang ampuh yang dimiliki
manusia. Menurut Daniel Goleman (dalam M. jazuli, 2008: 119), bahwa
potensi kecerdasan emosi dapat menentukan 80% kesuksesan seseorang,
sedangkan 20% lainnya ditentukan oleh kecerdasan akal. Oleh karena itu,
sungguh ironis bila ada orang beranggapan bahwa IQ menjadi penentu
segala aktivitas, bahkan dipandang sebagai cara yang jitu untuk
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang dihadapi manusia. Pada hal
justru dengan menafikan atau memendam potensi EQ sering menimbulkan
dampak negatif dalam kehidupan manusia, seperti sering terjadi
kerusuhan, kenakalan remaja, pornografi dan pornoaksi, sikap agresif dan
anarkhis, dan bentuk tingkah laku menyimpang lainnya.
Peran pendidikan seni dalam
upaya meningkatkan multikecerdasan di antaranya: (1) membantu siswa
mempunyai sensitivitas, intuitif, kreativitas, dan kritis terhadap
lingkungannya; (2) dengan cara belajar yang menyenangkan lewat kegiatan
apresiasi dan kreasi dapat meningkatkan motivasi belajar dan mendapatkan
kesempatan luas untuk memecahkan permasalahan; (3) Siswa dapat
mengekspresikan gagasan melalui goresan, gerakan, pemeranan dan
permainan lainnya sebagai manifestasi aktualisasi diri maupun wahana
berkornunikasi dengan lingkungan sekitarnya; (4) kepekaan inderawi yang
selalu dilatihkan melalui kegiatan berapresiasi, berkreasi,
bereksplorasi, bereksperimen dengan diri sendiri maupun dengan
lingkungannya akan merangsang kemunculan multikecerdasan siswa secara
optimal.
Seni dalam Pengembangan Potensi Anak
Pendidikan seni merupakan usaha
sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan berkesenian sebagai
perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang
dilakukan oleh para seniman atau pelaku seni kepada siapa pun yang
terpanggil untuk menjadi bakal calon seniman (M. Jazuli, 2008: 14)
Anak adalah pribadi yang unik
memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa, dan
salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan
diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi
kepada perkembangan pribadi anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud
berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi
kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa
percaya diri, dan pengembangan wawasan budaya.
Pertama, ruang bagi ekspresi
diri, artinya seni menjadi wahana untuk mengungkapkan keinginan,
perasaan, pikiran melalui berbagai bentuk aktivitas seni sehingga
menimbulkan kesenangan dan kepuasaan. Berekspresi seni rupa melalui
elemen visual berupa garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang.
Berekspresi seni musik melalui nada, irama, melodi, dan harmoni.
Berekspresi seni tari melalui elemen gerak, ruang (bentuk dan volume),
waktu (irama), energi (dinamika). Berekspresi teater melalui
pemeranan/pelakonan, bahasa, dan dialog. Secara implisit ekspresi diri
mengandung makna komunikasi karena siapa pun mengeskpresikan sesuatu
mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Sejumlah
penelitian telah meyakinkan bahwa 90 persen komunikasi emosi disampaikan
tanpa kata-kata, keterampilan ini dapat sangat meningkatkan kemampuan
anak memahami perasaan orang lain sehingga mampu bertindak cepat
(Shapiro dalam M. Jazuli, 2008). Ekspresi diri juga bermakna aktualisasi
diri karena apa yang diungkapkan melibatkan sosok subjek yang
menampilkan/mengungkapkan kepada orang lain. Berekspresi juga dapat
dimaknai bermain karena bermain adalah pekerjaan anak yang bisa
memberikan kebebasan, kesenangan, dan tantangan sebagaimana ketika
mereka bermain. Melalui permainan anak¬anak akan memperoleh kesempatan
belajar dan mempraktikkan cara-cara baru dalam berpikir, merasakan, dan
bertindak. Dengan demikian berekspresi berarti pembelajaran emosi yang
selalu melibatkan daya kreasi - sering muncul secara spontan ketika Si
anak mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi, dan bermain.
Kedua, pengembangan potensi
kreatif. Potensi kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir kritis, rasa
ingin tahu menonjol, percaya diri, sering melontarkan gagasan baru
orisinil, berani mengambil resiko dan tampil beda, terbuka terhadap
pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain (M. Jazuli,
2008: 104). Dengan demikian anak kreatif selalu memunculkan gagasan
baru, orisinil, cemerlang, dan unik. Dalam jagat seni sangat mampu
memberikan peluang yang amat luas bagi berkembangnya segala, potensi
kreatif anak secara bebas (nyaman) dan menyenangkan karena tidak ada
indoktrinasi, tidak mengenal benar dan salah, tetapi selalu dalam
situasi harmoni. Keadaan semacam ini memungkinkan anak memiliki
keberanian untuk mengungkapkan ide dan meningkatkan rasa empati,
menyadari kemampuan sendiri, serta siap menerima tanggapan lingkungan
terhadap apa yang diungkapkan. Dengan adanya keberanian tersebut
pendidik cukup sebagai fasilitator yang berperan memberikan arahan dan
pelayanan secara proporsional dan konstruktif. Misalnya: menciptakan
suasana yang mampu memotivasi kepada siswa untuk berani mencetuskan
idenya, menyediakan sarana yang mendorong eksplorasi dan eksperimen,
bersikap komunikatif, serta cerdas dalam menciptakan lingkungan sekolah
yang bebas sekaligus tertib. Eisner dan Ecker menginformasikan pendapat
tokoh pendidikan seni di Amerika Margaret Mathias, Bella Boas, Florence
Cane, dan Victor D'Amico bahwa pendidikan seni potensial untuk mencetak
manusia kreatif. Hasil penelitian Mohanty dan Hejmadi tahun 1992
menginformasikan bahwa setelah 20 hari anak belajar menari dan bermusik
kemudian diberi tes berpikir kreatif, ternyata hasil skornya lebih
tinggi dari anak yang tidak belajar menari dan bermusik. Hal ini
menunjukkan bahwa menari dan bermusik dapat meningkatkan daya kreatif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemudian menyebar ke seluruh
penjuru dunia sebagai gerakan pendidikan seni yang mempromosikan
kekreatifan (M. Jazuli, 2008: 105).
Ketiga, meningkatkan kepekaan
perasaan, khususnya rasa keindahan alam maupun buatan manusia. Orang
yang peka perasaannya ditandai oleh kesadaran dan responsif terhadap
gejala yang terjadi di sekitarnya. Hal ini tercermin pada kemampuannya
untuk menerima, mengamati, dan menghayati berbagai rangsang dari luar.
Dengan kata lain, orang yang peka rasa memiliki daya penghayatan tinggi
terhadap lingkungannya sehingga relatif mudah menyerap variasi keindahan
yang muncul ke permukaan, seperti tergetar bila mendengar suara
gemericik air, deburan ombak, alunan seruling, gesekan biola, gerakan
tarian, goresan lukisan, ekspresi wajah pengemis dan orang tuli, dan
sebagainya. Orang yang peka perasaannya cenderung berpikir dan bertindak
positif dan konstruktif terhadap lingkungannya sehingga kemudian
mendorong para pendidik untuk mencetak siswa yang peka perasaan melalui
pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum. Untuk menciptakan kepekaan
perasaan siswa dalam proses pembelajaran apresiasi seni ditempuh dengan
berbagai cara. Misalnya mengenalkan tokoh seniman besar dan
karya-karyanya beserta kisah perjalanan hidupnya melalui foto
reproduksi, mendengarkan dan menyimak musik secara cermat, mencermati
gerakan flora dan fauna serta gerakan tari, mengunjungi galeri, gedung
pertunjukan, museum, mengoleksi gambar, foto, kaset, DVD, dan
sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kepekaan
perasaan terhadap keindahan. Kepekaan perasaan sering menjadi modal awal
dan utama bagi proses penciptaaan karya seni.
Keempat, menumbuhkan rasa
percaya diri dan tanggung jawab. Orang yang memiliki rasa percaya diri
berarti dia mampu menyesuaikan diri dan mampu berkomunikasi pada
berbagai situasi, memiliki kemampuan bersosialisasi, serta memiliki
kecerdasan yang cukup. Implikasi dari rasa percaya diri adalah munculnya
sikap mandiri, yang di dalamnya memuat rasa tanggung jawab. Hasil
penelitian Atip Nurharini menginformasikan bahwa pembelajaran tari mampu
mengembangkan rasa kepercayan diri anak ( M. Jazuli, 2008 : 106). Rasa
percaya diri anak dimaksud adalah suatu keyakinan atas segala aspek
kelebihan yang dimiliki anak, dan dengan keyakinan itu membuat diri anak
mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dan keinginan didalam
hidupnya. Cara yang dilakukan guru dalam pembelajaran tari untuk
mengembangkan rasa percaya anak meliputi: (1) pemberian bimbingan
sebagai dasar pengembangan rasa percaya anak melalui perlakuan, seperti
memberikan sentuhan, memotivasi anak, pengkondisian relaksasi,
menumbuhkan rasa bangga, melatih berekspresi, berkreativitas,
bersosialisasi, melatih bertanggung jawab, dan memberikan stimulan pada
anak; (2) materi tari disesuaikan dengan karakter anak seperti tari
bergembira dan mengandung permainan, serta tari garapan baru yang mampu
menghibur maupun mengundang simpati anak ; (3) metode yang digunakan
adalah peniruan, bermain, bercerita dan demonstrasi; (4) evaluasi
dilakukan dengan cara pengamatan tentang kemampuan prestasi anak dan
perubahan perilaku anak. Setelah anak diberi pembelajaran tari
karakteristik rasa kepercayan diri anak terlihat dari munculnya
perasaaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi,
mampu mengasah kehalusan budi, mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan
mandiri, mudah berinteraksi, memiliki prestasi lebih baik, berkembang
imajinasinya, dan kreatif.
Kelima, mengembangkan wawasan
budaya. Pendidikan seni adalah pendidikan berbasis budaya, artinya
belajar seni sekaligus belajar budaya dari mana seni tersebut berasal.
Belajar dengan seni atau melalui seni yang beragam sama halnya dengan
belajar banyak tentang budaya - bermakna pengayaan wawasan budaya.
Wawasan budaya bisa berkembang bila orang memiliki kesadaran budaya
yaitu semacam sikap peduli bahwa dirinya merupakan bagian dari
masyarakat di mana dia hidup. Sikap 'peduli' ini lebih penting daripada
sikap 'memiliki' karena kepedulian mengandung nilai perhatian yang
tinggi dan kesadaran penuh untuk selalu memelihara meskipun sesuatu yang
dipedulikan bukan miliknya, sebaliknya memiliki bisa bermakna belum mau
memelihara, merawat, jadi tidak peduli. Dengan kepedulian terhadap
budaya masyarakat akan melahirkan rasa cinta, bangga, dan kebutuhan
untuk melestarikan budaya. Oleh karena itu wajar bila pendidikan seni
dianggap sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran budaya. Contohnya
adalah seni mimesis dari Yunani, yang sampai sekarang masih menjadi
salah satu model pembelajaran melukis, dengan tujuan untuk menanamkan
rasa memiliki pada diri anak seni terhadap budaya sendiri; di Cina anak
sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana menggunakan kuas, cara
duduk yang tepat, mencampur tinta untuk melukis kaligrafi gaya Cina; di
Jepang seni rupa ala Jepang menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di
sekolah umum; di Indoensia sejak zaman kerajaan, anak-anak raja di Jawa
diwajibkan menguasai beberapa bentuk dan jenis seni, seperti harus bisa
bermain gamelan, menari, menulis sastra, membuat syair (tembang), dan
sebagainya. Bahkan dalam sejarah seni budaya istana Jawa sudah banyak
berkolaborasi dengan budaya dari daerah lain maupun mancanegara.
Contonya adalah ornamen atau hiasan yang terpampang pada bangunan istana
Jawa tampak telah bercampur dengan budaya Cina, budaya Hindu, budaya
Barat (Eropa). Semua contoh tersebut pada dasarnya bertujuan untuk
menanamkan kecintaan dan kekaguman pada diri anak-anak terhadap
budayanya sendiri, tanpa menjadikan superioritas. Oleh karena itu
kesadaran budaya perlu ditanamkan sejak dini, sejak anak-anak melalui
pendidikan seni. Sebagimana pernah diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara
bersama sekolah Taman Siswanya, yang didirikan untuk kepentingan anak
bangsa Indonesia. Salah satu pidato beliau mengenai hubungan pendidikan
dan kultur yang disampaikan di RRI Yogyakarta 14 Januari 1940 ( Dalam M.
Jazuli, 2008 : 108) seperti berikut ini:
"...
dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya
mendapatkan kecerdasan yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya,
budinya, hingga mereka hendaknyalah mendapatkan tingkatan yang luhur
sebagai manusia (mempertinggi value human)."
Keenam, meningkatkan kesehatan.
Suatu kekayaan yang tak ternilai harganya bagi setiap orang adalah
kesehatan. Oleh karenanya semua orang selalu ingin sehat jasmani dan
rokhani. Sungguhpun aktivitas seni banyak bergulat pada wilayah rohani
(olahrasa dan olahhati) tetapi bukan berarti mengesampingkan olahraga
pada wilayah jasmani. Ada kecenderungan bahwa sumber kesehatan manusia
terletak pada jiwa, rohani. Artinya bila orang jiwanya sehat maka
jasmaninya cenderung juga sehat, terkecuali orang gila. Bila jasmani
seseorang sakit maka jiwanya belum tentu sakit, mungkin agak sedikit
terganggu. Oleh karena itu, orang yang berkesenian sangat berpeluang
untuk selalu sehat, dalam arti sehat jiwanya, apalagi bila berkesenian
tari maka akan sehat jaemani dan rohaninya.
Seni tari dengan mediumnya
gerak, ruang, waktu, tenaga tampak jelas memerlukan olah rasa
(estetika), olah hati (etika), olah cipta (logika), dan olahraga
(kinestetika). Dibandingkan dengan cabang seni lainnya seni tari lebih
berperan penting dalam mengembangkan ketahanan, kelenturan,
keseimbangan, dan kebugaran jasmani (tubuh) bagi kesehatan setiap orang
secara menyeluruh. Meskipun demikian kebugaran dalam seni tari tidak
menjadi rumusan tujuan, yang lebih utama adalah kesehatan. Kebugaran
menjadi persyaratan instrumen bagi penari dimaksudkan agar gerakan
tarinya tampak lebih luwes, ringan, dan enak dipandang. Keaktifan fisik
(kinestetik) pada seni rupa tampak pada sapuan kuas, membentuk tanah
liat, mencetak bidang, sedangkan pada seni musik aktivitas fisik tampak
pada memukul drum, menggesek biota, meniup terompet, tetapi tidaklah
seintensif dan dominan sebagaimana seni tari.
SIMPULAN
Barangkali tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa sistern pendidikan yang sedang berjalan, yang harus
menyediakan sumber-sumber yang diperlukan untuk pembangunan, kurang atau
bahkan mungkin tidak berjalan seperti yang dikehendaki.
Hasil pendidikan juga
menunjukkan kurang kuatnya dorongan tumbuhnya potensi masyarakat dan
kekuatan populer yang kreatif. Di segi yang lain tampak semakin kuatnya
rekayasa (non-masyarakat) atas perilaku manusia (masyarakat).
Gejala-gejala ini secara tidak langsung menunjukkan kelapukan sistem
pendidikan yang ada, yang bertumpu pada paradigma mainstream, yang
setidak¬-tidaknya sudah dijalankan di negara kita hampir tiga dasawarsa
ini.
Sudah saatnya pendidikan
nasional dalam pelaksanaannya diarahkan untuk memproduksi diri sendiri
yang berdasar atas human agency. Para pelaku pendidikan bukan bertindak
sebagai penerima tetapi juga pakem. Sehingga dengan demikian, akan
tampak dinamika pendidikan. Para pelaku pendidikan masuk ke dalam
permainan sebagai pemain, pengamat, penganalisis dan penggembira
sekaligus. Di sinilah saya kira seni menjadi fungsional dalam
pendidikan. Kita tidak semata-mata mengilmiahkan pendidikan tetapi
sangat perlu juga menyenikan pendidikan.
Perlu adanya campur tangan yang
tepat dalam produksi dan reproduksi sistem pendidikan, sehingga dengan
demikian kurikulum dengan berbagai implementasi dan implikasinya sesuai
dengan harapan, baik secara konseptual maupun praktikal. Campur tangan
dari para pendidik seni, pakar pendidikan seni, dalam produksi dan
reproduksi kurikulum pendidikan bukan hanya sekedar sebagai penggembira
atau penyetuju semata-mata.
Di lapangan perlu adanya kajian
yang terus menerus mengenai pelaksanaan pendidikan (seni) dengan cara
pandang yang multiperspektif, yang memungkinkan munculnya makna-makna,
konsep-konsep, dan terobosan¬terobosan baru, yang menjadikan pendidikan
(seni) relevan dengan kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA
- Edy Sedyawati. 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Rajawali Pers: Jakarta.
- Hendayat Soetopo. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran. UMM Press: Malang.
- M. Djumransyah. 2006. Filsafat Pendidikan. Bayu Media Publishing: Malang.
- MK. Jazuli. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. UnesaUniversity Press: Surabaya.
- Tjetjep Rohendi Rohidi. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. STSI press: Bandung.
- Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning. Nuansa: Bandung.
0 komentar:
Post a Comment